◇◇◇
Malam menyapa, dan persinggahan terakhir Ileana dan Dylan adalah pantai. Dylan yang membawa Ileana kemari. Setelah semua kebaikan lelaki itu padanya hari ini, Ileana tentu tidak bisa menolak.
Ileana mendudukkan diri di tepi pantai. Lututnya ia tekuk lalu ia peluk. Diikuti Dylan yang duduk di sebelahnya dengan cara yang sama. Keduanya duduk di atas pasir putih pantai, di bawah cahaya bulan yang temaram, seraya menikmati angin malam yang sejuk menggelitik kulit, menghantarkan ketenangan.
"Kenapa ke sini?" Tanya Ileana memecah keheningan yang sempat merajai selama beberapa menit.
"Karena gak ada tempat yang lebih indah dari ini." Dylan menatap Ileana yang sedang mengusap-usap lengan. Agaknya merasa kedinginan. Ia kibaskan jaket yang tadi sempat Nara pakai, lalu ia letak di atas pundak mereka berdua. Jaket itu sangat lebar, mampu menaungi tubuh keduanya, mencari kehangatan di balik jaket yang menaungi bersama.
"Aku juga kedinginan." Ucap Dylan saat Ileana menatapnya meminta penjelasan atas tindakan berbagi jaketnya ini. Ditanggapi oleh Dylan dengan kalimat singkat seraya tersenyum manis pada Ileana lalu kembali menatap lurus ke depan.
"Kita kelihatan aneh." Ileana ikut menatap lurus ke depan. Menatap bentangan laut yang tampak berkilau tertimpa cahaya rembulan.
"Aku gak peduli. Aku cuma ngelakuin apa yang aku suka dan bikin aku nyaman."
Ileana tersenyum kecil mendengarnya. "Dan ini termasuk hal yang bikin kamu nyaman?" Godanya.
"Hm. Aku nyaman ngelakuin apa aja bareng kamu." Wajah Ileana memerah, lekas ia menunduk dalam menyembunyikannya.
"Ternyata tentara juga bisa gombal, ya."
"Nggak kok. Aku serius." Dylan menatap Ileana dalam-dalam. Sementara yang ditatap tak balas menatapnya, beralih menatap lurus ke depan.
"Pacar kamu gak marah kita berduaan? Udah seharian ini kita barengan." Ileana menoleh ke arah Dylan, dan tersentak kala sadar wajah mereka tak berjarak. Bahkan ujung hidung mereka nyaris bersentuhan jika Ileana salah-salah bergerak.
"Aku gak punya pacar." Mata Dylan tak berkedip. Ia masih menyelami hazel bening Ileana. Di pencahayaan yang hanya berasal dari siluet rembulan di atas langit, Dylan masih bisa mengamati profil gadis itu dengan jelas. Bahkan dia tetap terlihat jelita dengan pencahayaan seminim ini.
"Masa sih? Tentara kayak kamu gak punya pacar? Sulit dipercaya." Tampik Ileana sembari tersenyum mengejek.
"Emangnya aku kayak gimana?" Ileana membeku di tempat. Diam-diam menelan saliva yang mendadak terasa pahit. Dylan menjebaknya. Bukan. Dia lah yang menjebak dirinya sendiri. Dengan kaku Ileana kembali menatap ke depan. Untung sekarang malam hari. Jika situasi ini terjadi di siang hari, wajah merahnya pasti akan dilihat Dylan dengan jelas dan akan menjadi bulan-bulanan pemuda itu.
"Gak tahu." Sepertinya itu adalah jawaban yang paling tepat. Karena otak Ileana terasa beku kini.
Dylan tersenyum kecil seraya menggeser posisi duduknya agar lebih dekat lagi dengan Ileana, membuat kaki mereka yang sama-sama ditekuk saling bersinggungan. "Aku ganteng, ya?" Tanyanya berbisik bangga.
"Enggak." Singkat Ileana.
Dylan mengerucutkan bibir, "aku berkharisma?"
"Enggak." Nada Ileana masih sama, belum berubah.
"Aku attractive?"
"Enggak."
"Jadi aku ini gimana?" Tanya Dylan yang mulai kesal. Ia yakin, dari beberapa kalimat yang ia ajukan pada Ileana, salah satunya pasti ada yang benar. Gadis itu saja yang terlalu munafik.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Man Million Feelings
Roman d'amour- 𝐎𝐧𝐞 𝐌𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐥𝐥𝐢𝐨𝐧 𝐅𝐞𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠𝐬 - Malam itu, Dylan Arkana Kagendra hanya ingin melepas penatnya setelah seharian penuh bekerja dengan menikmati kopi kesukaannya - caramel macchiato - di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota. Senyap...