Chapter 17

44 11 0
                                    

◇◇◇

"Ntar malam aku harus belajar karena besok mau tes. Kamu gak apa-apa 'kan sendiri?" Tanya Nevan seraya melepas ransel di punggungnya.

"Gak apa-apa kok. Pak Yudhi pasti bantu ntar." Balas Ileana yang sedang mengelap tangannya dengan kain lap seusai membasuh tangan.

"Itu udah pasti. Pak Yudhi itu baik, pengertian."

"Oh ya, gimana sama sekolah kamu?" Tanya Ileana.

"Aman. Besok udah mulai tes." Serentak Ileana dan Nevan duduk di balik meja kasir. Kedai sedang sepi pagi ini karena jam kantor dan jam sekolah sudah dimulai. Mereka bisa bersantai sejenak.

"Wah ... bentar lagi kamu bakal jadi polisi, Van." Ileana berdesis bangga. Nevan mengulum senyum dibuatnya.

"Jangan gitu dong, Lea. Aku 'kan belum lulus. Jangan bikin aku jadi kepedean." Balas Nevan canggung.

"Tapi aku yakin sih kamu bakal lolos." Nevan tersenyum semakin lebar. Ileana mengalihkan pandangannya ke depan, menatap kendaraan yang berlalu-lalang di depan kedai melalui dinding kaca. Sejenak ia alihkan tatapannya pada jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Biasanya Dylan datang di jam-jam segini. Tapi sekarang mengapa dia belum datang? Padahal sudah sejak pagi tadi Ileana menunggu kehadirannya. Bukan apa-apa. Hanya sekadar ingin mempersiapkan diri kalau-kalau manusia satu itu membuat onar di sini.

"Kamu kenapa? Ada masalah?" Tanya Nevan yang melihat Ileana sedang melipat tangan di atas meja, menatap sendu ke arah pintu. Dan menjawabnya hanya dengan gelengan kecil. "Oh ya, soal dua tentara waktu itu ...," Ileana menoleh cepat pada Nevan dan tersenyum lebar. Nevan menaikkan satu alisnya menyadari hal itu. Ileana tampak begitu antusias hendak membahas dua tentara - yang akhir-akhir ini sering berkunjung kemari. Bukan tidak mungkin, bukan, jika Ileana menyukai salah satu dari mereka? Keduanya memiliki wajah yang rupawan.

"Kenapa?" Vokalnya juga terdengar antusias. Semakin membuat Nevan bertanya-tanya.

"Kamu kenal mereka?"

"Enggak."

"Aku lihat beberapa hari lalu mereka lama banget bicara sama kamu. Bicarain apa sih?"

Ileana mengulum senyum, "oh... cuma masalah kecil." Jawabnya enteng.

"Masalah?"

"Hm. Salah satu dari mereka gak terima aku panggil Om." Nevan tergelak jenaka mendengarnya.

"Yang mana?"

"Yang paling tinggi."

"Cuma itu?" Ileana mengangguk singkat. "Kayaknya dia suka deh sama kamu." Nevan tersenyum geli di kalimat akhir. Namun dalam hati menahan nyeri kala mengucapkannya.

"Tahu dari mana kamu? Jangan mulai sok tahu deh, Van." Kumpulan kupu-kupu itu kembali berterbangan dalam perut Ileana hanya karena spekulasi tanpa bukti dari Nevan. Namun ia tutupi dengan tampang datarnya.

"Kelihatan dari cara dia natap dan perhatiin kamu. Aku selalu perhatiin kalian. Dia juga suka ganggu kamu di sini."

Ileana mencebik, meledek argumen Nevan yang terasa menggelikan. "Cowok gak waras kayak dia? Siapa yang suka? Sinting kali tuh orang yang bisa suka sama dia." Tampik Ileana dengan wajah cemberut. Namun serasa telah membohongi hatinya sendiri. Dalam hati juga menampik hal itu berulang-ulang. Namun, di satu sisi berharap asumsi Nevan itu benar.

Ileana kembali menatap jalanan di depan kedai. Sekali lagi ia lirik benda penunjuk waktu yang terpajang pada dinding. Tak terasa satu jam sudah berlalu. Namun Dylan belum juga menampakkan diri.

One Man Million FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang