◇◇◇
"Oke. Ini semua harus segera diselesaikan." Tekad Nevan bersama jemarinya yang saling mengepal erat, tanda tekad yang telah ia kumpulkan semakin bulat. Lekas ia raih ponselnya guna menghubungi Ileana. Ia yakin sahabatnya itu sedang bersama Dylan sekarang. Namun tak ada lagi waktu untuk diulur. Semuanya harus segera diselesaikan. Tentang apa yang akan terjadi setelah ini itu urusan belakangan. Dia akan selalu ada untuk Ileana, Ileana tak perlu khawatir tentang itu. Yang terpenting sekarang semua ini harus selesai.
"Um, Lea, apa kamu ada waktu?" Tanya Nevan begitu sambungannya dengan Ileana terhubung.
"….."
"Aku pengin ketemu kamu, tanpa Dylan." Potong Nevan cepat sebelum Ileana berniat membawa Dylan dalam pertemuan mereka.
"….."
"Aku gak yakin sih. Tapi terserah kamu. Aku pengin bahas sesuatu sama kamu. Cuma kita berdua." Mendengar tanggapan dari seberang, Nevan berdecak lalu terkekeh kecil. Ileana menggodanya lagi. Mengatakan Nevan ingin menyatakan perasaan pada gadis itu. Bukankah itu lucu? Di saat-saat genting seperti ini mana mungkin hal itu bisa terjadi.
"Apaan sih kamu. Gak lucu, tau. Pokoknya aku tunggu di Sweet Coffee." Sambungan terputus. Nevan merapikan meja kerjanya sejenak seraya menyiapkan berkas yang akan ia bawa.
●●
"Well, aku yang nunggu kamu di sini. Padahal tadi kamu yang nyuruh aku on time, tapi malah kamu yang telat. Jadi, kamu yang neraktir." Gurau Ileana saat Nevan datang dan langsung duduk di seberangnya.
Nevan menatap Ileana lekat tepat di mata. Gadis itu terlihat sangat ceria sekali hari ini. Mungkinkah itu efek kepulangan Dylan? Nevan tak sanggup merusak kebahagiaan Ileana, tak sanggup melunturkan senyum indah itu. "Dylan di mana? Gak di sini, 'kan?" Nevan menggerakkan manik matanya menyusuri seluruh penjuru kedai kopi, pula bagian luarnya. Wanti-wanti jika ada Dylan di sini.
"Kenapa? Kamu kelihatan takut banget dia ada di sini. Kamu gak bener-bener mau nembak aku, 'kan?" Goda Ileana dengan mata menyipit, menatap Nevan curiga.
Nevan tersenyum kecil sekadar untuk menanggapi gurauan Ileana. Hatinya tengah dilanda gelisah sekarang. Mana mungkin bisa ia bercanda. Sejenak ia gunakan waktunya untuk memesan minuman pada waiter, sembari menyatukan diri dengan keadaan yang akan terjadi.
Sedikit perbincangan hangat tercipta kala menunggu waiter datang menyiapkan kopi mereka. Keduanya saling tanya mengenai kehidupan dan pekerjaan satu sama lain karena sudah cukup lama tidak berjumpa akibat kesibukan masing-masing. Pula sambil sesekali membahas Sweet Coffee yang berkembang semakin pesat. Kedai kopi yang menjadi tempat mereka bekerja dulu kini sudah semakin besar, dengan karyawan yang juga semakin banyak. Bukan dua orang lagi. Mereka cukup bangga dengan itu, dengan kerja keras Pak Yudhi. Dan pula, segala perubahan yang terjadi di kedai kopi ini mengindikasikan bahwa sudah banyak waktu yang mereka lalui setelah meninggalkan Sweet Coffee.
"Jadi langsung aja, ya. Aku masih harus ke kantor habis ini soalnya." Nevan mengeluarkan berkas yang ia bawa dari tasnya, membukanya satu per satu. "Aku mau bahas tentang Papa kamu." Ileana menegapkan tubuh, bersiap mendengarkan penjelasan Nevan dengan saksama. Ia tahu tujuan Nevan ingin bertemu pasti untuk membahas kasus kematian ayahnya. Ileana mencandai Nevan di awal pertemuan mereka hanya sebagai pengalih dari rasa gugup yang memenuhi dada. Sebelum memulai penjelasannya, Nevan menggigit bibir bawahnya sembari membolak-balik berkas di tangan. Kemudian berdeham tegas, memperbaiki suaranya agar terdengar jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Man Million Feelings
عاطفية- 𝐎𝐧𝐞 𝐌𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐥𝐥𝐢𝐨𝐧 𝐅𝐞𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠𝐬 - Malam itu, Dylan Arkana Kagendra hanya ingin melepas penatnya setelah seharian penuh bekerja dengan menikmati kopi kesukaannya - caramel macchiato - di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota. Senyap...