Chapter 7

62 16 2
                                    




Happy reading






.








"Aku pulang duluan, ya." Pamit Nevan sembari mengusung ranselnya di punggung.

"Hm. Hati-hati." Balas Ileana yang tengah sibuk mengemas gelas dan piring yang baru selesai Nevan cuci.

"Kamu yang harus hati-hati, Lea. Ini udah larut malam dan kamu sendiri di sini." Nevan menatap Ileana khawatir. Harusnya dia mengantar Ileana pulang mengingat sekarang sudah pukul sebelas malam. Namun Ileana menolak, beralasan bahwa dia akan menginap di kedai. Mereka akan mengunjungi banyak tempat jika pulang berdua kendati malam telah larut. Dan itu menghabiskan banyak waktu. Itu yang sedang Ileana hindari. Bukan Nevan yang mengajak, tapi dia yang memaksa Nevan untuk mengunjungi banyak tempat ketika mereka pulang bersama, lupa akan rasa lelah yang menjalari setiap sendi. Ileana tidak akan bisa menahan diri untuk tidak mengunjungi setiap stand penjual makanan di pinggir jalan jika sudah bersama Nevan. Dan Nevan tidak pernah menolak sekalipun tubuhnya sedang lelah.

"Aku udah biasa." Ucap Ileana dengan senyum manis yang ia buat untuk menenangkan Nevan yang selalu mencemaskannya. Nevan menghela napas pendek. Ileana itu keras kepala. Dia sangat tahu itu. Segigih apa pun usahanya untuk mematahkan argumen atau rencana gadis itu, tidak akan pernah berhasil. Lebih baik ia mengalah daripada harus mendebat gadis itu untuk waktu berjam-jam lamanya.

"Kalau gitu aku pulang." Pamit Nevan.

"Hm. Hati-hati." Ileana tersenyum manis seraya melambaikan tangan. Nevan terkekeh melihatnya. Gadis itu selalu terlihat manis dengan semua tingkahnya.

Semua pekerjaannya sudah selesai. Saatnya Ileana menunggu Pak Yudhi datang. Menyerahkan uang lalu pulang.

Ileana duduk di balik meja kasir. Tak sengaja netranya terarah pada meja di pojok kanan kedai di sebelah dinding kaca transparan. Agaknya itu tempat favorit Dylan karena dia selalu duduk di sana tiap kali berkunjung. Tanpa sadar kedua sudut di bibir Ileana tertarik membentuk lengkungan indah. Ia teringat akan semua tingkah seenaknya Dylan tiap kali berkunjung. Meski membuatnya selalu merasa jengkel, namun jujur bagi Ileana itu lucu.

Seorang tentara yang ia pada awalnya mendapat penilaian angkuh darinya, nyatanya menyimpan sifat ganjil yang tak biasa dalam dirinya. Ileana marah tiap kali Dylan memperlakukannya sesuka hati. Tapi secara tidak langsung kejahilan Dylan menghiburnya karena tidak pernah ada pelanggan yang usil seperti lelaki itu sebelumnya. Cukup berhasil mengusir kejenuhan Ileana di kedai ini, dan berhasil pula membuat ia mengidap darah tinggi, sepertinya. Dan sekarang, laki-laki yang Ileana cap sinting itu telah memenuhi kepalanya. Dia jadi bertanya-tanya; di mana Dylan sekarang? Sedang apa? Bersama siapa? Dan banyak lagi pertanyaan mengenai laki-laki itu yang hanya bisa Ileana tanyakan dalam hati.

"Dasar… nggak waras." Desis Ileana kemudian terkekeh geli. Arah pandangnya masih tertuju pada meja favorit Dylan. Memandanginya dengan senyum lebar seolah seseorang yang nyaris setiap hari menempati meja itu membalas senyumnya.

"Lea…" panggil Pak Yudhi dengan nada yang terdengar heran. Tentu saja, karena ini panggilan ketiganya yang tidak digubris oleh Ileana. "Lea…" Pak Yudhi masih berusaha membuat Ileana keluar dari dunia imajinasi dengan melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. Beruntung berhasil pada akhirnya. Yang dipanggil tersentak dan sesegera mungkin mengubah raut wajah. Mencoba untuk terlihat biasa-biasa saja.

"Eh, Pak Yudhi. Kenapa, Pak?" Tanya Ileana menutupi kegugupannya dengan merapikan meja di hadapan. Tertangkap basah sedang melamun membuat Ileana jadi salih tingkah, merasa ingin menenggelamkan diri sekarang juga.

One Man Million FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang