XX

169 15 3
                                    

Geraldi memandang lurus ke arah Ayla, seakan-akan keduanya adalah teman akrab.

"Aku semula gak mau mikirin omongan mereka, buatku semuanya omong kosong. Tapi dipikir-pikir kok nyelekit banget ya omongannya?" ujar Ayla yang tidak bisa menyembunyikan kesedihannya dari raut wajahnya itu.

"Aku mikir, halah udahlah omongan begituan gak perlu dipusingin, gak usah dimasukin ke hati. Tapi aku juga mikir, aku manusia, wajar banget gak sih kalo aku sakit hati?" tanya Ayla.

"Wajar banget" suara berat Geraldi mebuat Ayla seketika menoleh padanya.

"Kalo kamu sakit hati sama omongan orang, itu wajar banget. Artinya ya kamu normal, bisa ngerasain sakit hati, apalagi bisa aku bilang, semua yang diomongon itu pasti cuman tuduhan aja 'kan?" ujar Geraldi.

Ayla mengangguk setuju.

"Gimana ceritanya kamu belum bisa lupain dia? Kamu aja sempet pacaran lagi sama mantanmu kan?" tanya Geraldi.

Ayla terkejut. Berpikir keras darimana Geraldi tahu ia pernah berpacaran selepas lulus SMA?

"Kamu tau darimana?" tanya Ayla.

"Kemaren waktu Elena mabuk, dia ngomong kan?" tanya Geraldi balik.

Seketika ingin rasanya Ayla menjitak kepala Elena karena menyebarkan informasi terlalu banyak ketika mabuk kemarin.

"Ahh .... yang itu" ujar Ayla.

"Iya, kemarin aku sempet pacaran. Dia dokter, lagi kuliah spesialis. Aku kenal dia dari masih jadi dokter umum, terus kita mulai pacaran waktu dia baru resign, dari rumah sakit dan mulai persiapan untuk ujian masuk spesialis. Selama pacaran aku gak pernah macem-macem, nurut banget sama dia. Bahkan dia minta aku menjauh dari beberapa temen cowok pun aku turutin. Sampe akhirnya aku tau kalo diva selingkuh sama salah satu rekannya, sampe check-in ke hotel segala" ujar Ayla.

Idih kenapa gue cerita ke dia?

Ayla baru tersadar dirinya terlalu terbuka dengan menceritakan semua pada Geraldi. Padahal keduanya baru kenal.

"Gak masalah kok kamu sakit hati. Wajar, kamu masih punya hati itu artinya. Tapi, kamu gak perlu susah payah buat buktiin omongan merely, toh tanpa harus dibuktiin semuanya emang gak bener kan?" ujar Geraldi lalu menyesap minumannya lagi.

Ayla mengangguk menurut, seperti anak kecil yang tengah dinasehati oleh ayahnya.

"Biasanya ya, yang ngomong yang ngelakuin. Tapi nuduhnya orang lain" bisik Geraldi mencoba menghibur Ayla sedikit.

Usahanya it's ternyata membuahkan hasil. Ayla sedikit tertawa mendengar ucapan Geraldi.

"Bener juga ya, mereka begitu buat nutupin kesalahan mereka" ujar Ayla dengan senyum yang tersungging diwajahnya.

Keduanya pun tertawa.

"Kamu ngomong-ngomong sendirian aja?" tanya Ayla yang tidak melihat ada siapa pun yang bersama Geraldi.

Daritadi gue melulu, sekali-sekali lu dong yang gue tanya-tanya

"Tadinya mau ikut temenku, dia ngajakin minum di bar langganan, but I don't feel like going there. Jadinya aku kesini. Aku nyetir cari angin, gak tau mau kemana eh malah nyetir ke arah kantor" ujar Geraldi.

"Ohh iya ya, kantormu gak jauh kan dari sini" ujar Ayla yang masih ingat dimana kantor Gerladi, dan tentunya ia masih ingat kebaikan Geraldi membantunya menyelesaikan urusannya di bank.

"Dari apartemen kamu kayaknya gak begitu jauh ya?" tanya Geraldi, yang kemudian mengecek ponselnya karena ada dering notifikasi.

"Iya, tapi akses masuk ke sana ribet. Kalo rumah orang tuaku sih dari sini mah deket" ujar Ayla.

"Oh kamu udah tinggak terpisah sama orang tua?" tanya Geraldi.

"Iya, sejak mulai usaha sendiri soalnya barang aku banyak, terus aku juga gak ada ruang disana. Jadinya mutusin buat pindah aja" ujar Ayla.

"Pasti susah tuh dapet izinnya" ujar Geraldi.

"Bukan lagi! Aku harus berdebat dulu sama Mamaku! Kalo Papaku udah bisa lumayan longgar, dan ngerti situasi anaknya" ujar Ayla.

"Udah berapa lama usahanya?" tanya Geraldi.

"Sekitar dua tahunan, lumayan juga berkembangnya" ujar Ayla.

"Kamu lulus kuliah kapan?" tanya Geraldi.

"Kurang lebih dua tahun lalu" ujar Ayla.

"Tunggu, kamu umur berapa tahun ini? Eh maaf loh ya aku nanya umur" tanya Geraldi.

"Aku? Tahun ini dua empat" jawab Ayla santai, yang tidak merasa tersinggung oleh ucapan Geraldi.

"Jauh juga umur kita" ujar Geraldi.

"Emangnya kamu umur berapa?" tanya Ayla lalu mengunyah makanannya itu.

"Tiga satu" shut Geraldi cepat.

EH GILA???!!!!

Sejak kemarin Ayla berbicara dengan santai dengan pria ini dan ternyata Geraldi tujuh tahun lebih tua darinya?!

"Jauh juga ya" ujar Geraldi.

"Apa aku manggil kamu Kak aja?" tanya Ayla yang benar-benar merasa canggung.

"Gak perlu! Berasa adik aku yang manggil nanti" ujar Geraldi sambil mengibaskan tangannya.

"Beneran gapapa?" tanya Ayla memastikan. Ia benar-benar tidak nyaman jika memanggil Geraldi hanya dengan nama saja. Dengan perbedaan usia mereka yang cukup jauh itu.

"Iya gapapa kok" ujar Geraldi tenang lalu menyesap minumannya itu.

Ayla mengeluarkan ponslenya dari dalam tas kecilnya dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

"Aku pulang duluan ya, udah cukup malem. Besok aku mau olah raga" ujar Ayla yang hendak berpamitan pada Geraldi.

"Biasa olah raga dimana?" tanya Geraldi balik.

"Aku sekitaran apartemen aja kok, kadang sepedaan juga. Tapi aku lagi gak mood sepedaan, lebih sering jogging aja, sama kadang renang" ujar Ayla.

Geraldi hanya mengangguk.

"Gak mau aku anter?" tawar Geraldi.

"Gausah, aku bawa mobil kok ini" ujar Ayla sambil menunjukkan kunci mobilnya.

Geraldi hanya tersenyum sambil mengangguk kecil.

"Aku duluan ya!" pamit Ayla sambil menyampirkan tas kecilnya ke samping.

"Okay, hati-hati di jalan ya"


****


Lega.

Itulah yang Ayla rasakan.

Setelah sedikit curhat pada Gerladi tentang apa yang terjadi padanya, perasaan Ayla jadi lebih lega karena ada yang mau mendengarkan kesedihannya ini.

Ada rasa nyaman yang Ayla rasakan ketika ia bercerita pada Geraldi. Ia tidak menghakimi, namun mendengarkannya dengan baik, bahkan menenangkannya.

"Kok bisa ya ada orang sebaik itu?" ujar Ayla sambil mengetuk setir mobilnya dengan jemarinya.

Ayla selalu bertemu dengan Geraldi di saat yang tepat.

Ketika ia hendak mengurus urusannya di bank, ketika Elena mabuk dan ia tidak membawa mobil, dan barusan, ketika ia tengah sedih dan butuh teman untuk berbicara.

Entahlah


Mr. FragileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang