XLVII

107 5 1
                                    

"Hasil lab Papa biar aku yang ambil aja" ujar Ayla sambil membereskan meja kerjanya. 

"Gapapa?" tanya Papa di sebrang sana.

"Iya gapapa, udah malem juga kan. Nanti aku ambilin hasil lab Papa" ujar Ayla. 

"Kamu masih dikantor?" tanya Papa.

"Iya, ini udah beres satu kerjaan. Mau makan siang trus nanti lanjut kerja lagi" jawab Ayla.

Percakapannya dengan Papa tadi mengingatkan Ayla pada niat Geraldi. 

"Gimana ya kalo Geraldi beneran serius terus mau ketemu sama Papa?" Ayla mencoba membayangkan skenario yang ada di kepalanya.

Papa yang galak akan dihadapkan pada situasi dimana putri sulungnya hendak dipinang oleh seorang laki-laki. 

Geraldi yang memang sudah serius dengan niatnya akan menghadap Papa dengan segala keberaniannya. 

"Tapi diliat dari cara dia ngomong, Geraldi kayaknya gak main-main deh" ujar Ayla.

Walau Geraldi tidak temasuk laki-laki idamannya, namun kedewasaan Geraldi benar-benar sudah menaklukkannya. 

"Ah udah! Fokus kerja!" 


****


"Permisi, saya mau ambil hasil lab atas nama Pak Yusril" ujar Ayla sambil menyerahkan slip pengambilan hasil lab.

Seorang petugas lab mengambil lembaran yang Ayla berikan, lalu segera mengambil hasil lab milik Papa.

"Ini untuk hasil lab Pak Yusril ya Mba, harap di bawa saat check-up selanjutnya" ujar petugas lab.

"Terima kasih" jawab Ayla saat menerima amplop berwarna putih dengan cap logo rumah sakit di bagian depannya. 

"Sekarang tinggal pulang ke rumah Papa Mama" ujarnya sambil mengambil kunci mobil dari dalam tas dan mengantonginya ke saku celananya.

Ayla menekan tombol lift dan menunggu pintu lift terbuka. Begitu denting lift terdengar dan pintunya terbuka, Ayla langsung masuk.

Tanpa ia sangka ia justru berada di dalam satu lift dengan Dion, mantan kekasih seklaigus dokter baru di rumah sakit ini. 

Entah bagaimana ceritanya Dion bisa bekerja di rumah sakit ini. 

Walau kesal setengah mati dengan perbuatan Dion di masa lalu, namun bagi Ayla yang sudah move on, ia tidak mau lagi mempermasalahkan hal tersebut. Sudha bisa putus dari Dion sudah cukup baginya.

Dion meliriknya sesekali. 

"Apa kabar?" tanya Dion. 

Ayla menoleh ketika mantan kekasihnya itu menyapanya.

"Baik" jawab Ayla datar.

Ayla yang tidak tertarik untuk menanyakan kabar Dion. 

Ketika pintu lift terbuka pun Ayla langsung pergi tanpa berbaca basi pada Dion terlebih dahulu.


Sambil menyetir mobilnya, Ayla berpikir apakah ia harus segera memberi tahu Papa tentang niat serius Geraldi.

"Tapi Papa sama Mama pasti nanyain agama!" ujar Ayla.

Belum apa-apa, Ayla sudah di bayangi oleh kegagalan.

Di benaknya sudah terbayang reaksi tidak setuju kedua orang tuanya. Apalagi watak Papa yang keras.

"Coba ngomong aja kali ya?"


Dengan teliti Mama membaca hasil lab milik Papa yang baru saja diserahkan oleh Ayla.

"Udah bagus nih Pa! Pokoknya harus di mantain lagi, kalo bisa dikurangin lagi" ujar Mama tanpa melepaskan tatapannya dari lembar hasil lab.

Papa hanya mengangguk mengerti tanpa melepaskan pandangannya dari korannya.

Mama melipat dan memasukkan kembali lembar tersebut ke dalam amplopnya.

Sedari tadi sebenarnya Ayla sudah menunggu saat-saat Mama selesai membaca hasil lab Papa. 

"Ma Pa, ada yang mau aku omongin" ujar Ayla dengan penuh kegugupan. 

Baik Papa maupun Mama, keduanya kompak menoleh kearah putri sulung mereka.

"Jadi sebenernya ada yang ngajakin kakak serius" ujar Ayla, langsung to the point.

"Siapa?" tanya Papa.

"Ya ada. Dia temen aku, kita udah kenal selama setahun ini. Dan dia berniat serius sama aku" ujar Ayla yang sudah bisa menormalkan kembali detak jantungnya. 

"Kamu pacaran?" tanya Mama.

"Gak. Kita temenan aja" jawab Ayla.

"Namanya siapa?" tanya Papa.

"Geraldi" jawab Ayla.

"Umurnya?" tanya Mama.

"Tujuh tahun lebih tua dari aku" ujar Ayla.

"Kerjaannya apa?" tanya Papa.

"Kantoran Pa, dia kerja di bank swasta" ujar Ayla.

"Seimankan?" tanya Mama.

Ayla menggelengkan kepalanya.


****


Sejak teman-temannya menikah, Geraldi tidak terlalu sering bisa menghabiskan waktu bersama teman-temannya di malam minggu begini. 

"Ih udah lama ya kita ga ketemuan begini" ujar Arga sambil mencomot kepingan tortilla.

"Iya, biasa gue malem minggu di rumah. Apalagi sejak punya anak, gak tega gitu ninggalin istri sendirian urus anak" jar Sandy.

"Kalo yang ini mah kayaknya masih anteng aja" ujar Reifan menepuk pundak Geraldi.

"Eh! Lu hutang cerita sama kita" ujar Arga sambil menunjuk Geraldi dengan telunjuknya.

"Iya bener! Lu harus cerita cewek yang udah bikin lu gak dingin kayak kulkas dua pintu lagi" ujar Sandy membenarkan ucapan Arga.

"Lu kalo gamau cerita gausah jadi temen gue lagi" sahut seorang temannya lagi.

Entah kapan ia siap menceritakan dirinya dan Ayla pada teman-temannya ini.

"Apaan sih! Masa gue harus selamanya dingin?!" ujar Geraldi mencoba membela diri.

"Ya tapi lu gak kayak biasanya Di kayak gini, udah lama banget akhirnya lu melunak lagi" ujar Reifan.

"Udahlah lu ngaku aja. Namanya siapa? Kantornya dimana? Instagramnya deh" ujar Sandy.

"Bener! Instagramnya aja deh! Coba kita mau liat sini" ujar Arga menimpali.

"Apaan sih?!" elak Geraldi.

Ia belum ingin memperkenalkan Ayla ke teman-temannya karena ia belum memperkenalkan Ayla pada keluarganya.

Rasanya tidak enak jika teman-temannya lebih dulu tahu tentang Ayla dibanding keluarganya. Apalagi ia memang berniat serius dengan Ayla.

"Kenapa sih rahasia-rahasiaan begini" ujar salah seorang temannya lagi. 

"Gak ada yang gue rahasiain kok" balas Geraldi.

"Bohong!" semua teman-temannya kompak menyerukan kata yang sama.

"Udah deh tenang aja, kalo gue udah ketemu pasti gue kenalin ke kalian!" 




Mr. FragileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang