XLI

154 10 1
                                    

Ada satu pertanyaan dibenak Geraldi.

Apa ia harus tetap seperti ini dengan Ayla? Atau ia harus mulai bergerak untuk bisa memulai sesuatu yang baru dengan Ayla?

Namun bagaimana dengan perbedaannya dengan Ayla? 

Ia sudah bukan lagi anak SMA yang ketika jatuh cinta hanya memikirkan jangka pendek. Usianya sudah kepala tiga begini, keinginannya untuk membangun rumah tangga pun sudah ada, bahkan sejak lama. 

Hal sensitif begini tentu saja menjadi beban pikirannya.

"Dipikir-pikir lucu juga ya. Gue belum ada omongan apa-apa sama dia, tapi udah mikir as if, we're planning to get married" ujarnya sambil memperhatikan lalu lintas di hadapannya.

Hujan yang mengguyur kota Jakarta, membuat perasaannya sedikit melankolis.

Ia teringat akan pertemuan pertamanya dengan Ayla. 

Hari itu, Valentine's day.

Geraldi sebenarnya sore itu sudah ada janji dengan seorang wanita yang ia kenal dari aplikasi kencan online. Restoran tempat mereka bertemu itu tidak jauh dari kantornya.

Bayangan makan malam romantis sudah tersusun dibenaknya, namun rencana itu dibatalkan secara sepihak oleh pihak wanita tanpa ada kejelasan. Geraldi baru mendapatkan kabar dari wanita itu malam harinya, saat ia sudah berada di atas tempat tidurnya, siap untuk tidur.

Setelah menunggu hampir dua jam dan wanita itu tidak kunjung datang, dan akhinya Geraldi sudah tidak mau lagi membuang waktu untuk hal tidak pasti begini. Ditengah perjalanannya, gerimis yang semula masih rintik-rintik menjadi deras, mengharuskannya untuk berteduh.

Geraldi mencari tempat berteduh paling dekat yang dapat ia jangkau, jadilah ia berteduh di depan sebuah toko roti kuno. 

Di saat ia berteduh itulah ia pertama kali bertemu Ayla yang baru saja selesai membeli roti dan hendak pulang, namun keduanya terjebak hujan.

Geraldi tersenyum mengingat momen itu.

Ayla yang semula ia pikir adalah seorang dokter, ternyata adalah mantan kekasih dari seorang dokter. Wajar jika Ayla mengetahui hal-hal dasar tentang pertolongan pertama, bisa saja mantan kekasihnya dulu mengedukasinya.

Lalu berikutnya gantian ia yang 'menolong' Ayla karena wanita itu akan terjebak dalam antrian yang lama, jika saja Geraldi tidak 'menjemputnya' dan membawanya ke layanan prioritas.

Tidak ada yang kebetulan. Pertemuannya sudah pasti bagian dari takdir. 


****


"Farhan udah gak gangguin lu lagi?" tanya Elena santai dan dengan malas mengganti saluran televisi.

"Udah gak. Abis gue galakin sekali, langsung gak berani ganggu gue lagi" sahut Ayla yang sama malasnya.

"Hah?! Apa?!" tanya Elena tidak percaya. 

"Demi apa woi lu berani begitu? Gue denger-denger belom ada yang berani marah sama dia sampe begitunya" ujar Elena yang seketika tersentak mendengar jawaban dari Ayla.

"Ada, gue" jawab Ayla.

"Lu marahin sampe lu bentak?" tanya Elena lagi.

Ayla mengangguk dengan malas.

"Emang dia siapa sih sampe gak ada yang berani ngebentak dia? Pengusaha properti doang, bukan presiden kok" ujar Ayla.

"Ya lu enak enteng ngomong begitu, sama-sama pengusaha biar beda bidang" ujar Elena.

"Halah, dia harus dibentak sekali-sekali biar kapok! Gak mikir apa orang trauma sampe bertaun-tuan gara-gara dia" ujar Ayla.

Elena ingat betul. Ayla yang semula cinta mati pada Farhan, kini benci bukan main pada pria itu.

"Mau dia pengusaha kek apa kek, manusia modelan begitu harus di bentak! Dulu dia seenaknya sama gue, sekarang dia harus terima akibatnya" ujar Ayla tegas.

Ayla bukan tipe orang pendendam, namun  jika ada seseorang  yang merusak ketenangannya, Ayla tidak segan-segan untuk menunjukkan taringnya itu.

"Udah lu jangna bikin mood gue rusak ya. Gak usah ngomong dia lagi" ujar Ayla.

"Yaudah kita ngomongin Geraldi aja" sahut Elena iseng.

"Nah, iya kalo mau ngomongin dia aja. Seneng gue" sahut Ayla ringan dan riang.

" TUH KAN!!" 


****


"Mendingan lu berhenti sama Vanny" ujar Saga agak keras.

Farhan yang duduk di hadapannya perlahan menoleh ke arahnya dengan kening berkerut.

"Lu gak bisa bohong lagi. Vanny udah gak ada di hati lu, sekarang lu ngincer Ayla" ujar Saga.

"Tapi gue gak bisa dapetin dia" sahut Farhan.

"Kalo gitu lepasin Ayla. Jangan nyakitin dua cewek sekaligus" ujar Saga.

"Nyakitin dua cewek sekaligus?!" tanya Farhan dengan sedikit mendengus.

"Pertama lu nyakitin Vanny, tapi sebenernya lu udah gak mau. Lu tetep ajak dia keluar, nge-date sana sini tapi lu udah gak ada perasaan lagi sama dia. Yang ada dia malah mikir kalo lu masih ada perasaan sama dia, padahal udah gak ada! Kedua, jangan bikin Ayla sakit hati buat yang kedua kalinya. Apa gak cukup lu suruh Charlie nyiram dia dan bikin dia malu depan umum? Sekarang, setelah dia berubah 100% lu tiba-tiba mau deketin dia? Dimana rasa malu lu?" ujar Saga panjang lebar.

Entah mengapa ucapan Saga menjadi tamparan keras baginya.

Benar apa kata Saga. Dimana urat malunya sudah membuat Ayla malu dan sakit hati bukan main, lalu sekarang ia mengejar gadis itu?

Lalu ketika sekarang Ayla menolaknya mentah-mentah, dirinya masih saja berusaha keras untuk mendapatkan hati gadis itu?

Betul, seharusnya Saga tahu diri.

"Gak ada kata telat buat lu untuk minta maaf ke Ayla, tapi semua udah terlambat kalo lu minta Ayla untuk sayang lagi ke lu"


Bagi Saga, yang beberapa jam lalu ia katakan pada Farhan merupakan kata kasar. 

Walaupun sebenarnya, yang Saga katakan adalah kenyataan. 

Ayla manusia biasa, yang tentunya memiliki perasaan. Mungkin semuanya sudah berlalu bertahun-tahun lamanya. Tapi rasa sakti yang sudah Farhan torehkan tidak akan pernah hilang begitu saja dari Ayla.

Saga mengesampingkan perasaannya pada Ayla.

Saga mengesampingkan persahabatannya dengan Farhan.

Saga memikirkan perasaan seorang wanita yang sudah disakiti begitu sakit oleh  pria yang di cintainya.



Mr. FragileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang