𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.1
───────────────────Keping salju berdatangan, menutupi seluruh permukaan tempatnya terjun dari nabastala. Hari begitu dingin, membuat orang-orang yang terbiasa berpakaian tipis agar tak kepanasan dikala aftab bersinar dengan teriknya berganti dengan pakaian tebal berlapis.
Seluruhnya putih, indah tapi terkadang menyebabkan aliran darah. Ia meringkuk di depan toko tempatnya berteduh semalam. Memeluk diri, mencoba mencari kehangatan.
"Hei, nak. Apa yang kau lakukan disini? Diluar sangat dingin, masuklah" ujar seorang wanita paruh baya kepadanya.
Netra gadis itu terbuka, hendak menolak tawaran baik dari wanita separuh baya. Namun tubuhnya berkehendak lain. Kakinya melangkah memasuki ruang yang dipenuhi kehangatan.
Rasanya, nyaman.
"Ini, minumlah." kata wanita itu lagi, dengan memberikan secangkir coklat panas. "Ini musim dingin, tidak seharusnya kau diluar dengan pakaian tipis seperti itu." wanita itu tersenyum, ia melangkah mengambilkan sweater dan mantel hangat berwarna coklat lalu diberikan kepada gadis yang hampir menangis merasakan bagaimana hangatnya suasana hatinya.
"Dimana rumahmu, nak?"
Untuk pertama kalinya, ia ditanya seperti itu setelah sekian lama. Dirinya mencoba menahan tangis, tak ingin terlihat rapuh di depan wanita ini. Tapi sayang, kristal itu tetap jatuh tanpa meminta izinnya.
"Ya Tuhan, jangan menangis. Kemarilah, nenek akan memelukmu!"
Ia jatuh. Seolah lupa pada ciri manusia yang seringkali ia jumpa, tanpa rasa curiga, dia menjatuhkan dirinya ke dalam dekapan wanita bersurai coklat yang telah dihiasi putih dengan nyamannya.
"Sepertinya, menanyakan perihal rumah adalah hal yang sensitif untukmu. Kalau begitu, aku akan bertanya hal lain saja. Apa kau mau tinggal dengan nenek?"
Dan itu, menjadi kali pertama dalam hidupnya. Sebuah tawaran dengan pancaran tulus dari netra lawan bicaranya. Tanpa ada kebohongan, tanpa ada maksud tersembunyi dibaliknya.
Gadis itu mengangguk dengan senyum tipis terukir apik di wajahnya.
"Pertama-tama, katakan dulu pada nenek. Siapa namamu?"
Lagi, gadis itu memeluk sang nenek dengan begitu eratnya, "nama ku, Emilia."
── ·𖥸· ──
Bohong.
Seharusnya dia tidak menjatuhkan dirinya pada lubang yang sama. Lalu, kini apa yang terjadi padanya?
Kembali berjalan tanpa arah di bawah hujan salju yang begitu derasnya.
"Kau hanyalah sampah, yang artinya kau tidak punya hak atas segala milik nenek kami!"
"Nenek menyayangiku, dia memberikan segala miliknya padaku karena kalian telah memberinya penderitaan."
"Kami adalah cucunya yang selalu menyayanginya dengan tulus, bukan kau! Yang datang dengan kepalsuan dan memanfaatkannya!"
"Kalian yang keji. Kalian tidak pernah mengurusnya, bahkan saat nenek sekarat kalian tidak datang di saat terakhirnya. Palsu? Kalian semua yang palsu, bukan aku!"
Di taman itu, ia sendirian. Menatap langit yang mulai gelap, menikmati kesendirian. Bersama luka yang kembali terukir apik dalam hati dan ingatannya.
"Tuhan, apa yang Kau inginkan? Aku tidak punya apapun lagi. Keluarga, teman, aku tidak memiliki apapun untuk bertahan hidup di ini. Ambil saja aku, setidaknya orang tidak akan menyakitiku. hiks.. Tuhan, aku tidak sanggup lagi.."
Seluruh pertahanannya telah jatuh, tidak lagi mampu untuk bangkit dengan semangat baru seperti hari-hari yang telah berlalu. Hatinya yang rapuh telah hancur tanpa sisa.
Keyakinannya akan kasih sayang telah musnah. Benci akan segala tipuan yang dunia berikan. Gadis rusak yang mengharapkan kasih dan cinta, telah memilih untuk kembali melangkah ke sisi jembatan.
Menatap hamparan sungai berarus deras, matanya redup, wajah itu dingin. Tubuhnya seolah beku karena derita. Kakinya melangkah, menaiki pembatas dengan tangan menengadah. Menangkap beberapa keping salju, sebelum meniupnya.
Melangkah pasti pada alas tanpa wujud, mata terpejam, dan tubuh itu jatuh.
Aku tidak lagi memiliki harapan, mimpiku tidak akan pernah terwujud. Dan daripada bertahan dalam penderitaan yang tiada hentinya mendera. Aku memilih membebaskan diri, walau aku tahu. Keputusan dan tindakan ini, akan membuat Tuhan marah padaku.
Emilia membuka matanya, jauh. Masih begitu jauh antara dirinya dan sungai. Ia tidak tahu, tapi dia merasakannya. Seseorang, memegang sebelah tangannya. Berusaha menariknya kembali ke tempat aman.
Emilia melihatnya, seorang pria dan wanita yang berteriak panik meminta pertolongan. Yang menghentikan dirinya dari sebuah tragedi. Tetapi sayang, walau telah diselamatkan. Gadis itu tetap memejamkan matanya, terlelap dalam ruang gelap abadi.
Nyatanya, kisah ku ini tak berjalan seperti alur drama nya.
TBC
hai ?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Itxaropena
RandomEmilia telah melihat bagaimana dunia itu berjalan. Baginya, dunia adalah tempat yang tidak akan memberinya ruang untuk bahagia. Namun saat keluarga sederhana itu mengadopsinya, ia mulai memandang dunia dengan cara yang berbeda. fanfiction. © 2O22, b...