★· a little story from Emilia

20 12 4
                                    

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.27
───────────────────

Kalau ditanya perihal apa yang paling Emilia inginkan, maka jawabannya adalah waktu.

Enam tahun, itu adalah waktu kelewat singkat baginya. Setiap sekon tidak pernah dihabiskan bersama seluruh keluarga dengan benar. Kebanyakan sekon terisi sepi.

Hanan yang melulu bekerja sampai lupa waktu, sang ibu yang banyak acara meskipun ia berada di rumah, pun waktu sekolah yang terus membawanya pergi─ seolah semuanya, enggan membiarkan sang puan berkumpul bersama keduanya dengan kasih sayang yang nyata.

Kasih sayang yang teramat didambakan. Bukan sebatas perhatian yang dilakoni karena sebuah ucap janji.

"Kak Lili, mau bercerita padaku?"

Bukan kali pertama ia mendengar ujaran tanya yang sama dalam dua jam ini. Mungkin, ini sudah saatnya ia membuka suara atas apa yang memberi rasa jejal di hatinya.

Lagipula, ia tidak memiliki tempat lain untuk berkeluh kesah sekarang.

"Harus ku mulai darimana?"

Singkatnya, Emilia tidak tahu pasti akan cerita mana yang harus ia ucapkan. Terlampau banyak kisah kelam yang membuatnya terluka. Hingga dirinya bingung harus menceritakan apa.

"Jangan tanya hal itu padaku. Aku tidak tahu karena itu adalah kisah mu, kak. Tapi, cerita apapun itu, aku akan menjadi pendengar yang baik."

Emilia menarik garis lengkung, senang rasanya dikala ada yang memperhatikan sampai sebegini nya. Bila ditanya apakah ia mau mencari kawan baru, tentu jawabnya adalah tidak.

Alivia sudah lebih dari cukup untuk memahami segala isi kalbunya.

"Ada satu, soal keberangkatan ku." Emilia menatap langit jingga, garis lengkung nya semakin tinggi bersama rona merah menghiasi pipi.

"Setelah sekian lama berpikir, aku telah mempunyai tujuan pasti."

Alivia mengerjap sekali, "kau, akan kemana?"

Emilia mengangguk pasti. Seiring sekon terlewati, ia diam menatap jingga nya bumantara. "Suatu tempat. Dimana aku akan bahagia, mungkin. Disana aku akan membuka lembar baru, dan aku sangat senang bisa mengenalmu."

Duduk termangu dengan nayanika yang melebar, agaknya bukan sesuatu yang aneh lagi. Ekspresi itu seringkali datang dikala Alivia terkejut akan sesuatu.

Gadis itu menggeser diri, merapatkan tubuh pada yang lebih tua. Sedangkan yang tengah merendam sebagian kaki ke dalam kolam menatap pantulan diri dalam air yang kadangkala kacau karena gelombang.

"Apa harus?" Satu kalimat tanya mengudara, menyapa rungu sang puan tanpa suara. Emilia merapatkan diri pada air dingin di bawahnya.

Menenggelamkan diri hingga sebatas dada, lalu berbalik. Mengunci tatap mata pada sosok yang lebih muda. Ah, wajahnya kelewat menggemaskan bila netra itu sudah agak berkaca-kaca.

"Harus, karena itu adalah janji."

Ucapannya kelewat lirih─kalau dipikir, dia tidak mau mengucapkan, bagaimanapun ia akan teringat seputar kejadian yang menyakiti hatinya, lagi dan lagi.

"Janji? Janji apa, dan dengan siapa?" lagi, tanpa henti. Sebelum rasa penasaran yang dipunya gadis itu habis oleh jawaban pasti, ia tak akan berhenti menyuarakan tanya nya.

Sampai-sampai Emilia hanya mampu membalasnya dengan senyum sederhana.

Tangannya tergerak bersama kaki yang mulai bergerak. Mendorong diri menuju tengah kolam, ia menenggelamkan seluruh tubuhnya untuk beberapa saat.

[✓] Itxaropena Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang