𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.19
───────────────────Buana malam telah berganti pagi. Aftab bersinar hangat, langit kelam mulai membiru. Cuaca yang teramat cantik, dan semoga hari ini menjadi hari yang sangat baik.
Puan ber-surai hitam menuruni lantai dua, menyusul dua insan penyemangat yang telah menunggu untuk sarapan bersama sebelum memulai hari.
"Selamat pagi, Emilia." Anna membuka cakap, ia meletakkan hidangan hangat di meja. Emilia balas tersenyum.
"Selamat pagi, ibu."
Saat akan menyantap rotinya, Emilia terdiam; teringat bahwa wanita yang berada dekat dengannya ini bukanlah sang ibu.
Anna menatap Hanan, seperti ia ingin memberitahukan bahwa seharusnya Emilia tidak memulai aktivitas apapun hari ini. Gadis itu masih diselimuti duka.
Emilia menampar pelan pipinya, lalu melanjutkan sarapannya dengan baik. Untuk sesaat, Hanan dan Anna sama-sama menghela napas lega.
"Emilia, aku dengar hari ini kau mulai ujian akhir ya?" Anna berujar sebuah tanya, dan Emilia mengangguk membenarkannya.
"Iya, doakan aku mendapat nilai bagus dan menjadi lulusan terbaik."
Anna memberi acungan jempol, "tentu saja sayangku. Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu!"
Melihat gadis itu tersenyum, Hanan merasa jauh lebih baik. "Baiklah, ayah akan tunggu di mobil. Selesaikan sarapan kalian ya, kak, aku akan bawa koper mu. Kau harus makan banyak ya."
Anna berdecak pelan, "ya ampun, aku bukan anak kecil Han. Aku tahu apa yang bagus dan apa yang tidak bagus untukku."
Pria itu terkekeh, "hanya mengingatkan, kak. Kau biasanya telat makan." Kemudian, pria berusia tiga puluh dua tahun itu pergi. Mempersiapkan segala hal untuk hari ini.
Anna mengusap punggung Emilia dengan lembut. Netra nya menatap sendu. Bukan kasihan, ia hanya tidak menyukai kebiasaan Emilia yang suka menutupi luka dengan senyum terpaksa.
"Sayang, aku tahu kau begitu kehilangan Anne. Aku juga sangat kehilangan dia, karena dia merupakan satu-satunya keluargaku. Aku tahu kau begitu menyayanginya dan aku tahu bahwa kau menganggapnya sebagai dunia mu."
Anna menghentikan kalimatnya sejenak. Ia lebih dulu menenggak segelas air mineral sebelum kembali berucap.
"Kita tidak bisa menyalahkan takdir, sayang. Apapun yang akan terjadi pasti terjadi. Kematian bukan sesuatu yang bisa dihindari. Aku harap, hal ini tidak membuatmu melakukan hal berbahaya seperti dulu, Emilia."
Gadis itu tidak merespon. Ia hanya menunduk, bermain dengan selai kacang. Karena benar nyatanya, Emilia masih tidak bisa terima dengan apa yang menimpanya.
Emilia hanya bersama wanita cantik itu lima tahun, hanya lima tahun. Seharusnya, ini menjadi tahun ke enam. Asa sudah terputus, dan kini Emilia mengaku sumarah.
Ia sudah lelah menaruh asa.
Sepanjang perjalanan, Emilia hanya menatap jalanan kota dengsn pandangan kosong. Dua orang dewasa itu sampai bingung harus membicarakan apa. Begitu tiba di sekolah, Emilia segera mengambil tasnya dan turun. Disusul kedua orang itu, untuk berpamitan, tentu saja.
"Bu dokter, maaf ya aku tidak bisa mengantarmu ke bandara. Aku doakan semoga kau selamat sampai Canada, jangan lupa kabari aku."
Anna menganggukkan kepala. Emilia beralih ke sang ayah, ia memberanikan diri memberi cumbana penuh sayang di pipi pria itu.
"Ayah, doakan aku sukses ya! Hati-hati dijalan dan bawa ibu dokter dengan selamat! Bye-bye!"
Gadis itu melambai sambil berlari memasuki sekolah. Hanan menatap punggung putrinya yang semakin jauh, lalu menghilang di kerumunan. Ia menyentuh pipinya yang terasa panas akibat ciuman penuh kasih dari gadis itu.
Seumur hidup, Hanan tidak pernah dicium perempuan lain selain ibu dan mendiang istrinya, Anne.
"Hanan, bagaimana sekarang, huh? Kau, tidak akan melakukan rencana itu, kan?"
Pria itu bergeming. Ia melajukan mobilnya, menambah ramai jalanan kota, dengan pikiran hang teramat kacau.
── ·𖥸· ──
Sunyi, seperti tempo hari. Waktu-waktu ujian akan benar-benar menjadi saat terbaik bagi Emilia untuk merasakan tenang dan nyaman selama menimba ilmu di luar rumah.
Ia bermain dengan pena, mencoret lembar putih, membuat gambaran acak──yang bahkan tidak jelas apa yang ia buat. Mendengar bangku sebelah berbunyi dan mendapati sang kawan baik duduk di sana, Emilia menghentikan kegiatannya.
Ia menatap gadis itu penuh tanya, kenapa wajahnya begitu masam? Apa ada sesuatu? Emilia mencoba mencari tahu dengan menilik ekspresi wajah yang lebih muda.
"Ada masalah, Al?" pada akhirnya, piguranya mengucap sebuah tanya.
Alivia menggeleng pelan dan tersenyum, kentara sekali bahwa itu dipaksakan. "Aku akan membencimu jika kau enggan berbagi masalahmu denganku, Al. Kau tahu, aku mungkin bisa membantumu." pungkasnya.
Alivia tidak terkejut, gadis itu tetap diam. Dia mengalihkan perhatian dirinya dengan membuka buku tebal, belajar untuk ujiannya.
Emilia memandang sendu, 'jangan katakan bahwa dia marah karena aku mengacuhkannya waktu itu!'
"Al, apa kau marah padaku karena mengacuhkan mu di kafe tempo hari? Aku minta maaf ya? Aku.. aku tidak bermaksud begitu."
Alivia memberi gelengan, "aku tidak mempermasalahkan itu kak, tenang saja. Uhm... a-aku minta maaf. Tuan Willy berkata kepadaku bahwa kemarin, ibu Anne berpulang. M–maafkan aku, kak. Harusnya aku datang dan menemani kakak disaat seperti itu. T-tapi aku malah──"
Emilia menepuk pundak gadis itu membuatnya terdiam. Menatap dalam, merasa bersalah dan menyesal karena tidak ada disisi Emilia disaat perempuan itu tengah didera duka.
"Tidak apa-apa, toh kau juga sebelumnya tidak tahu. Dengan kau tersenyum saja itu sudah membuatku lebih baik."
Alivia menyeka tirta di ujung mata.
"Terimakasih sudah mengerti kak. Tapi, kakak baik-baik saja kan? Kau pasti bisa, kak."
"Jangan khawatir, Alivia." Emilia mendekatkan diri, memeluk gadis itu dan menyandarkan kepalanya di bahu Alivia.
"I'm fine."
TBC
double up, jadi juga akhirnya.
jangan lupa klik '★'
terimakasih!
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Itxaropena
DiversosEmilia telah melihat bagaimana dunia itu berjalan. Baginya, dunia adalah tempat yang tidak akan memberinya ruang untuk bahagia. Namun saat keluarga sederhana itu mengadopsinya, ia mulai memandang dunia dengan cara yang berbeda. fanfiction. © 2O22, b...