𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.10
───────────────────Sejak kecil, aku tidak pernah merasakan yang namanya kasih sayang seorang ibu. Bibiku──satu satunya anggota keluarga yang tidak menyayangiku tapi tidak menyakitiku──bercerita bahwa ibu meninggal dua jam setelah aku dilahirkan karena mengalami pendarahan.
Aku pikir, aku tidak apa-apa. Karena aku masih memiliki sosok ayah dan dua kakak laki-laki yang selalu nampak hebat di mataku. Tapi, pemikiran kecilku itu bukanlah sesuatu yang benar.
Nyatanya, mereka adalah orang yang paling hebat dalam menoreh retisalya. Ayah membenciku, kedua kakakku yang suka menyebutku dengan kata 'pembunuh', sisanya tak pernah peduli akan keadaanku.
Tahun demi tahun ku lalui, berjuang seorang diri meski berada di tengah lingkar keluarga. Sampai akhirnya hari itu tiba, kata terburuk yang belum pernah aku dengarkan dalam hidupku diucapkan keluar dari mulut ayah dan kedua kakakku.
Keduanya tak memiliki hati, sehingga berniat untuk menjualku. Entah dijadikan budak atau sesuatu yang lebih buruk. Hari itu pula, untuk pertama kalinya aku membulatkan tekad untuk pergi menjauh, dari rumah, dari kehidupan mereka.
Musim salju pertama yang selalu aku impikan, aku lewati dengan retisalya yang luar biasa. Rasanya aku tidak mampu menyusuri jalanan yang beku, aku merasa begitu lemah untuk sekedar menatap benda putih yang langit turunkan.
Lalu aku bertemu dengannya, Bella. Wanita paruh baya yang merawat ku sepenuh hati walau tidak pernah menjadi kasih sayang abadi. Dia memelukku dikala aku kedinginan, menyanyikan lagu tidur jika aku bermimpi buruk, membuatkan makanan hangat jika aku lapar, dan selalu mendongeng disaat aku bosan.
Kehilangannya membuatku begitu terpukul, terlebih keluarganya yang datang menyalahkan ku tanpa sebab. Rasanya sakit sekali, kepercayaan ku pada sesuatu yang dinamakan 'kasih sayang' seolah pudar dan hancur secara perlahan.
Berulang kali disakiti──hei. Aku hanya seorang anak yang bahkan tidak tahu apapun. Kenapa kalian, para orang dewasa terus menyalahkan ku atas segala hal yang tidak pernah aku lakukan bahkan aku pikirkan?
Aku ingin pergi, mengistirahatkan daksa yang sudah kelewat lelah untuk menghadapi dunia. Langkah ku rapuh, udara dingin menyapu wajah, aku pikir aku sudah damai hari itu. Tapi tersadar kembali di sebuah ruang bercat biru dengan bunga mawar putih di samping ranjang.
Seseorang telah menggagalkan tindakanku.
Aku marah, sangat marah pada dua orang asing yang seenaknya turut campur dalam urusan ku. Memangnya, siapa mereka? Aku adalah orang yang mengatur hidupku, mereka bukan siapa-siapa!
"Emilia, kenalkan namaku adalah Annette, kau bisa memanggilku Anne saja. Mulai hari ini, detik ini, aku adalah ibumu!"
Ibu, ya?
Waktu itu, detik seolah terhenti saat aku merasakan pelukan yang begitu hangat dari seorang wanita berbaju coklat. Lalu semakin hangat karena mendapat satu pelukan lagi dari seorang pria pemakai kacamata. Dan satu lagi, dari seorang wanita yang berprofesi sebagai dokter perawat ku.
Bahagia, bahagia sekali rasanya. Perlahan, dalam kurun waktu tiga tahun aku mampu untuk memulihkan kepercayaan yang telah pudar dan hampir hancur.
"Lilia, kembalikan kue nya!"
"Anak nakal! Ibu akan melemparkan spatula ini jika kau tidak segera menghabiskan sayurnya!"
"Lilia, jangan bermain air hujan!"Aku ingat setiap detiknya, ibu Anne terus berteriak memarahiku ketika aku berperilaku nakal. Dan itu membuatku benar-benar hidup.
Maka dari itu, seperti kau yang sudah memberiku hidup, kau pun harus hidup ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Itxaropena
RandomEmilia telah melihat bagaimana dunia itu berjalan. Baginya, dunia adalah tempat yang tidak akan memberinya ruang untuk bahagia. Namun saat keluarga sederhana itu mengadopsinya, ia mulai memandang dunia dengan cara yang berbeda. fanfiction. © 2O22, b...