𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.7
───────────────────Di bawah bumantara yang dihiasi berjuta lintang dan chandra di singgasananya, keluarga kecil itu menghabiskan waktu dengan duduk melingkar dengan api unggun sebagai pusatnya.
Semula, rencana yang telah disiapkan harus dibatalkan karena suatu alasan. Sebagai gantinya, Hanan yang merupakan pemilik rencana mengubah kegiatan malam ini.
Dia memutuskan untuk membuat suasana perkemahan sederhana di halaman belakang rumah. Bersama istri dan putrinya.
"Hanan, kau ingat waktu dulu? Kita pernah berkemah di pantai karena suka dengan udara malam disana." pungkas Anne, dengan tawa mengiringi ucapannya.
Wanita itu mengembangkan senyumnya setiap kali gambaran di masa lama terputar seperti film dalam benaknya.
"Tentu saja, aku ingat dengan adanya seorang gadis nakal yang sengaja menumpahkan makan malam ku ke laut lepas dengan alasan bahwa lumba-lumba belum makan malam."
Anne tertawa renyah, wanita itu terus mengucap kalimat cerita nostalgia masa lalu.
Emilia melirik keduanya, terlihat nyaman. Berbincang hangat membicarakan masa lalu yang menyenangkan, sepertinya. Gadis itu menggeser posisi duduknya, mengambil cukup jarak dari mereka.
Ia meniup jagung yang baru saja matang setelah beberapa saat dibakar, memakannya dengan tenang. Harapannya hanya itu, namun tawa yang selalu mengapa rungu membuatnya semakin merasa kesepian.
"Ayah ayah! Sekolahku mengadakan acara berkemah! Apa aku boleh ikut?"
"Ya ikutlah, semoga kau tidak pernah kembali ke rumah. Tersesatlah di hutan, lalu dimakan hewan buas."
Hanya secuil ingatan itu tentang sebuah hal yang seharusnya ia jalani dengan menyenangkan. Persetujuan dengan kata sinis yang menyayat hati.
"Hahaha, Hanan kau adalah perenang yang payah ingat?"
Emilia membuang jagungnya yang baru dimakan setitik ke sembarang arah, ia bangkit dari duduknya. Melangkah pergi, melewati keduanya yang tidak lagi tertawa, berganti menatapnya penuh tanya.
Hingga akhirnya Hanan angkat suara, "mau kemana, Emilia?" tanyanya.
Gadis itu tersenyum ketika dia berbalik, "oh, aku hanya tidak ingin menjadi hawa buruk. Adanya orang ketiga itu tidak baik kan? Selamat menikmati waktu berdua kalian." jawabnya, lalu ia menghilang. Masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya.
Anne menatap kepergian gadis itu, baru teringat akan satu kesalahan yang seharusnya tidak ia perbuat.
"Hanan, kita mengabaikan keberadaannya. Lagi." kata Anne.
Sang suami menghela napas panjang. Tidak menyalahkan ucapan wanita itu. Membahas sejumlah hal masa lalu, membuatnya turut lupa bahwa di kehidupannya bukan hanya Anne saja yang ada di dekatnya, tapi juga Emilia.
Anak perempuan yang tak pernah memiliki kenangan manis semasa ia kecil.
Hanan merasa begitu bersalah karena telah tertawa terbahak-bahak sementara putri asuhnya itu berdiam di bawah akara pohon. Menikmati kesendirian, untuk yang kesekian kalinya.
"Anne, udaranya semakin dingin. Pergilah tidur lebih dahulu."
Anne menatap netra suaminya lamat-lamat. Ia berujar tanya, "kau tidak ikut tidur, Han?"
Hanan menggelengkan kepalanya. Ia memandang jendela kamar milik sang putri.
"Ada beberapa kesalahan yang harus dibenarkan. Kau, mengerti maksudku kan?"
Anne mengikuti arah pandang Hanan, beberapa saat ia ikut termangu memikirkan kata anak itu beberapa menit yang lalu.
Ia membuang napas panjang, "aku juga ingin bicara padanya. Tapi, kau tidak akan membiarkanku terjaga lebih dari jam ini. Menyebalkan sekali."
Hanan terkekeh, pria usia kepala tiga itu mengusap lembut pipi sang wanita.
"Besok, kau bisa bicara bebas padanya. Bahkan seharian penuh, gadis itu cuti kan?"
"Iya, kau benar."
Hanan kemudian menuntun Anne kembali memasuki rumah, sampai di kamar mereka. Pria itu membaringkan tubuh istrinya di posisi ternyaman. Menyelimutinya, lalu mencium keningnya.
"Selamat malam, wanita cantik."
Anne tersenyum, perlakukan Hanan yang selalu manis membuatnya merasakan harsa di tiap waktu. Rasa cinta dari lelaki itu selalu membuatnya kembali pada masa lalu sebelum memulai kehidupan rumah tangga.
"Selamat malam, pak tampan." balasnya, dan Hanan masih setia mengusap-usap kepalanya sang istri sampai akhirnya tertidur. Dengan dengkuran halus mengisi hening, Hanan bangkit meninggalkan Anne.
Ia memasukkan tangan ke dalam kantong, berjalan di bawah cahaya temaram. Karena semua lampu utama di rumah telah dimatikan, hanya ada cahaya remang-remang dari lampu kecil di tiap dinding untuk menerangi jalan.
"Ayah, aku takut gelap. Tolong pasang lampu di dinding agar aku tidak takut jika harus keluar kamar di tengah malam."
Hanan terkekeh geli mengingat ucapan anak perempuan berusia lima belas tahun itu.
Sampai di depan pintu putih dengan ukiran berbeda dari yang lain, Hanan mengeluarkan tangan. Terangkat, mengetuk pintu itu.
tok tok!
"Lilia, ayah ingin bicara. Boleh ayah masuk?"
"Iya!" teriak Emilia dari dalam sana.
Hanan memutar kenop pintu, mengeluarkan sedikit demi sedikit cahaya terang di dalam keluar ruangan.
Hanan menatap wajah Emilia yang terlihat pucat, mata dan hidungnya memerah. Tubuhnya dibungkus oleh selimut selayaknya kepompong, bahkan mata yang biasa menatapnya tajam itu enggan melihat ke arahnya.
Hanan melangkahkan tungkai lebih dalam ke ruang itu, ia mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Dekat dengan Emilia.
Pria itu merentangkan kedua tangan dengan senyum tulus yang selalu ia pamerkan untuk memikat hati sang istri dikala suasananya sedang tidak baik.
Namun, tak seperti Anne yang akan menubruknya dengan tergesa. Rekasi Emilia hanya diam di tempat dengan netra menatap seperti orang kebingungan.
"Ayo, peluk ayah sebentar saja. Ayah belum pernah memeluk mu, Lilia."
TBC
belum periksa.
langsung publish karena sudah
sangat mengantuk:<don't forget to click the '★' button.
Leave a comment if you like this story!
thank you~
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Itxaropena
RandomEmilia telah melihat bagaimana dunia itu berjalan. Baginya, dunia adalah tempat yang tidak akan memberinya ruang untuk bahagia. Namun saat keluarga sederhana itu mengadopsinya, ia mulai memandang dunia dengan cara yang berbeda. fanfiction. © 2O22, b...