𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.22
───────────────────"Kalian bertengkar?"
Keduanya sontak mengalihkan pandangan. Menatap anak perempuan yang terdiam di ujung tangga.
"Tidak sayang, kami tidak bertengkar." ujar Anne, berusaha meyakinkan. Hanan turut mengangguk membenarkannya. Pria itu terlihat enggan berucap.
"Jangan berbohong. Aku tahu, bahkan suara kalian begitu keras sampai membangunkan ku. Aku tidak peduli apakah kalian bertengkar atau tidak."
Emilia terdiam, memutus ucapannya sesaat sebelum ia kembali berkata, "tolong jangan terlalu kencang jika berdebat, aku mau kembali tidur." Emilia berbalik, ia menaiki kembali satu persatu anak tangga.
Sampai terdengar suara pintu yang ditutup dengan keras, Hanan dan Anne saling bertukar pandang.
"Karena kau!" Hardik Anne, wanita itu kemudian melenggang pergi---menyusul sang putri. Sedangkan Hanan masih termangun. Ia menunjuk dirinya sendiri, kenapa harus aku yang selalu disalahkan?
Pria itu menggelengkan kepalanya. Dia mengambil kunci mobilnya yang ada di atas kulkas, lalu keluar dari apartemen untuk segera memulai pekerjaannya.
Perempuan itu memang merepotkan. Kecuali ibuku.
── ·𖥸· ──
Dikala sang puan tengah menyisir surai nya, rungu nya disapa derap langkah seorang yang dikenalinya.
Dari bayangan dalam kaca, ia menatap Anne yang tangannya terulur untuk mengambil alih sisir yang tengah ia gunakan. Dia ingin menyisirnya, mungkin.
Anne kembali menghela napas, mengumpulkan sejuta alasan tepat agar sang putri tidak lagi berujar tanya perihal peristiwa beberapa saat lalu.
"Emilia, ibu hanya ingin berkata bahwa kami tidak bertengkar. Jangan salah sangka, ya?" suaranya lembut, Emilia suka. Nada halus dan lirih itu pandai sekali membalut luka.
"Aku mengatakan sesuatu sesuai dengan apa yang aku lihat, ibu. Sepertinya karena diriku disini kalian bertengkar."
Dua kalimat yang terucap serasa menusuk hati kecil Anne. Baik dirinya maupun Hanan sendiri tidak pernah merasa begitu. Justru, karena kedatangan Emilia lah semua terasa kian membaik.
Anne tidak memberi pembelaan walau rasanya ia ingin mengatakan bahwa hal itu tidaklah benar. Ia memilih bungkam, duduk di samping gadis itu, dan tersenyum.
"Selamat ulang tahun, sayang." pungkasnya, wanita itu merentangkan tangannya. Dan tanpa berpikir panjang, sang anak dara masuk dalam dekap.
Ia membelai surai nya. Sesekali mencium pucuk kepalanya. Menyalurkan dama yang dipunya kepada gadis pembawa harsa.
"Emilia, jangan berkata seperti itu lagi ya. Kau itu pelita, jadi jangan merasa hadirmu menjadi pembawa lara. Sayang, kau tahu bahwa ibu sangat menyayangimu kan?"
"Aku tahu, ibu. Namun, bisakah kau jelaskan kepadaku apa maksud perkataan mu sebelumnya, Bu?"
"Perkataan yang mana?"
Emilia melepas dekap. Ia merapikan rambutnya, lalu mengikatnya menjadi satu.
"Soal 'kau menginginkan anak itu', bisakah ibu jelaskan padaku?"
Anne menggelengkan kepalanya. Enggan menjawab, namun bila kembali ditanya. Ia tak punya kalimat lain untuk mengalihkan pembicaraan. Bagaimanapun, Anne masih tidak mengetahui segala hal mengenai gadis itu.
"Oh iya, ibu tadi membuat kue coklat untuk ulangtahun mu! Ayo lekas ke meja makan, mari nikmati kue itu juga hidangan lainnya."
Emilia muak, setiap tanya pasal hal itu selalu saja dialihkan dengan hal lain. Gadis itu mendengus, selepas mematut dirinya, ia beranjak lebih dulu meninggalkan Anne yang menatap nanar punggung Emilia.
"Tuhan, aku harus berkata apa?"
Ada banyak alasan mengapa Anne enggan menjawab tanya itu. Salah satunya karena takut kehilangan. Benaknya tidak bisa berhenti membuat bayang adegan kala Emilia pergi darinya ketika ia telah memberikan jawaban.
Tidak, Anne tidak ingin hal itu terjadi. Kendati dia sendiri tahu, bahwa apa yang ia lakukan seringkali membuat gadis itu──Emilia, jengkel sampai enggan berbicara padanya.
Yah, satu tahun ini masih belum banyak perubahan. Emilia masih sering berkomunikasi dengan Anna selaku dokter yang menanganinya.
Anne ingin memastikan bahwa gadis itu akan tumbuh dengan baik, seperti yang Anna katakan perihal Emilia, ia akan berusaha agar anak itu merasa hangat dan senang.
Anne akan memenuhi ruang kosong di hati sang putri dengan kasih sayang dan cinta nya. Meskipun, Anne merasa kurang yakin. Karena seharusnya, Hanan juga ikut melakukannya.
Pria itu terlalu sibuk dengan dunia kerjanya.
Anne tidak bisa melarang, tidak bisa menunda. Pria yang menjadi suaminya itu memang pria yang kelewat menjengkelkan.
"Sayang, karena hari ini adalah hari spesial mu.. apa kau ingin sesuatu? Ibu akan mengabulkannya."
Emilia nampak tertarik, gadis itu menatap sang ibu dengan senyum tipis terukir di wajahnya.
"Benarkah, ibu?" tanyanya, dan Anne pun mengangguk membenarkan. Emilia menyesap jusnya, dan kembali berkata, "aku mau, sebuah rumah dengan nuansa serba putih."
Anne bergeming, sebuah rumah? Wanita itu berpikir sesaat. Sebelum akhirnya ia mengangguk, bagaimanapun dia sudah berkata bahwa ia akan mengabulkannya. Toh, memberikan sebuah rumah untuk sang putri bukan sesuatu yang buruk.
"Baiklah, setelah ini ayo lihat apakah ada rumah yang sesuai selera mu. Ibu ingat, tidak jauh dari apartemen ada kawasan perumahan yang nyaman. Kita akan kesana."
"Tidak. Aku tidak mau memiliki rumah di negara dengan sejuta kenangan menyakitkan disini. Bisakah kita pindah? Kemana saja ibu, aku tidak mau tinggal disini lagi."
Anne menggeleng, "tidak, Emilia. Ini rumah kita, ibu yakin semua akan baik-baik saja. Mungkin, ibu bisa memberikan rumah padamu, atau apapun yang kau mau. Tapi pindah? Oh Emilia, itu bukan sesuatu yang mudah."
"Lalu!?" Emilia berucap tajam, "ibu mau aku bertemu kembali dengan keluarga kriminal itu!? Bagaimana jika mereka menemukan ku dan menyakitiku karena aku masih hidup!? Aku tahu semuanya tidak mudah Bu, tapi ayolah! Kau sudah berjanji padaku!"
TBC
tiba-tiba otakku mentok.
aku kurang dapat waktu buat ngetik:<
bisanya malam, itupun waktu udah ngantuk.
semoga masih sreg ya dikalian.
walau mungkin narasinya rancu:)Ngomong-ngomong, apartemennya kurang lebih seperti ini
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Itxaropena
AcakEmilia telah melihat bagaimana dunia itu berjalan. Baginya, dunia adalah tempat yang tidak akan memberinya ruang untuk bahagia. Namun saat keluarga sederhana itu mengadopsinya, ia mulai memandang dunia dengan cara yang berbeda. fanfiction. © 2O22, b...