𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.29
───────────────────Sangkala berada ada angka sembilan. Kedua taruni memutuskan mengurung diri dalam ruang. Namun, belum berniat untuk memejamkan mata. Pasalnya, di luar masih ada sang pemilik rumah dan tamunya yang tak kunjung rampung berdebat.
Sementara di luar terjadi aksi balas kata, dalam ruangan itu, Emilia nampak fokus mencari sesuatu di almari nya. Berbeda dengan taruni lain yang bersembunyi dibalik kemul, ia tengah menahan kantuk.
Alivia mengerjap beberapa kali, lantaran bingung, ia pun berujar tanya, "apa yang kau cari, kak?"
Emilia mengaduh saat kepalanya tak sengaja berbenturan dengan kayu. Tangannya nampak memegang sesuatu. Bersamaan dengan badannya yang mulai membelakangi kotak kayu, tangan yang berisi paper bag kecil tersebut terangkat dengan senyumnya yang juga muncul.
Langkahnya ringan, pun tubuhnya duduk di atas kain putih bersih itu. Alivia menggeser diri, masih dengan netra menatap penuh tanya.
"Hadiah kecil, untukmu." ujarnya, semakin membuat Alivia penasaran. Hadiah, untuk apa? Begitu benaknya bertanya.
"Aku tidak berulangtahun."
Jawab singkat yang lebih muda membuatnya mengeluarkan tawa. Emilia menjatuhkan diri, menghela napas panjang, seolah ia baru saja melakukan sesuatu yang besar.
"Hadiah tidak selalu diberikan hanya waktu kau berulang tahun. Ini hadiah untuk keberhasilan mu."
Katanya, menolak rejeki itu bukanlah sesuatu yang baik. Namun, Alivia enggan menerima ─bukannya menolak, hanya saja ia merasa bahwa ujaran selamat dari yang lebih tua sebelumnya sudah lebih dari cukup. Kalau boleh, ia akan berkata terimakasih tanpa menerima.
Namun, mengetahui perangai pemudi disampingnya yang punya watak keras kepala dan cukup senang memaksa─maka dengan tangan terbuka dan senyum anindita yang dipunya, ia menerima hadiahnya.
"Terimakasih." Alivia bicara se-sopan yang ia bisa, sebagai bentuk rasa bahagia atas apa yang didapatkan.
Emilia, menganggukkan kepala sebagai ganti kata sama-sama. Perempuan berparas ayu itu, tiba-tiba berguling sampai akhirnya menempel pada yang lebih muda, merentangkan tangan lalu mendekapnya.
Perkara malu, lupakan saja. Ini pelukan istimewa antar sahabat, sesama wanita. Bukan sesama pria.
"Ayo buka, aku harap kau suka."
Dengan senang hati sang penerima menuruti. Jemarinya menarik keluar barang yang ada di dalam. Kemudian, nayanika nya seketika menatap penuh binar pada taruni disampingnya.
"Untukku? Benar, ini untukku?" tanyanya lagi, padahal sudah jelas bahwa sebelumnya Emilia berkata, itu untuknya.
Mendengarnya, Emilia dibuat tertawa sesaat. Ini tingkah biasa yang selalu hadir dikala yang lebih muda masih tak percaya akan sesuatu.
Dan sebagai jawaban, ia menganggukkan kepala lagi. Jika diminta berulang kali hanya untuk meyakinkan sang taruni, dia siap lakukan itu.
Sekarang, melihat senyum manis dari karibnya itu sudah cukup membuat atma nya merasakan harsa. Senyum itu tidak akan dilihatnya lagi dalam kurun waktu yang sangat lama, sepertinya.
Manik kembar Alivia gencar menilik setiap inci benda pipih berwarna putih yang telah dikeluarkan dari wadahnya. Teramat senang atas hadiah yang diberikan, sampai-sampai labium nya berulangkali mengeluarkan kata terimakasih.
"Aku sudah menyiapkan semuanya. Termasuk sosial media dan nomorku. Kita bisa berkomunikasi lebih mudah jika kau memiliki handphone sendiri." kata Emilia, "menelpon ke luar negeri menggunakan telepon umum itu akan memakan biaya yang besar, kan?"
Wajahnya terkejut, namun tak kunjung melunturkan senyum. Sebagai gantinya, netra yang semula berbinar, kini mulai meredup.
"Kau, akan benar-benar pergi, ya?" tanyanya lirih, bersama hati yang mulai sedih.
Semula, Alivia kira, segala kata perihal pergi ke suatu tempat yang aksa, hanya kelakar semata. Bukan ucap yang merupakan realita. Bila tahu begini jadinya, Alivia akan mencarikan hadiah yang istimewa walau tak seberapa.
"Untuk waktu yang lama, atau mungkin selamanya. Entah ke negara baru, atau negara bijana."
Emilia, bisa dilihat keseriusannya dalam netra. Intuisi Alivia berkata untuk melarang, kalaupun tidak bisa, setidaknya ia harus bisa berujar tanya. Tentang alasannya, pun bertanya apa sebabnya.
Walakin, labium nya serasa dikunci. Ia tak bisa berucap walau sepatah kata. Hanya ada tirta yang tiba-tiba muncul, menjelaskan segala bentuk rasa. Tak rela bila ditinggalkan.
Sejauh ini, yang dekat dengannya, hanya Emilia. Diluar keluarganya, hanya perempuan itu yang mampu menjadi penopangnya agar ia tidak terjatuh tiap kali didera sejuta cacian orang-orang berkuasa.
"Hei, jangan menangis. Kau ini, cengeng sekali." Entah mengejek atau melarang, Emilia tersenyum menatap taruni yang lebih muda. Dengan salah satu jari yang tergerak mengusap pipi.
Gadis yang telah beranjak dewasa itu memberi kecupan manis pada kening Alivia. Jangan salah paham akan segala tindakan yang dilakukan.
Kecupan itu merupakan pertanda sayang, bentuk ucap terimakasih dan selamat tinggal yang terlampau istimewa─karena yang benar-benar disuka hanya beberapa.
Setelah beberapa sangkala berlalu dengan hening, kedua pemudi ingkah dari tempat masing-masing. Membenahi posisi, segera menenggelamkan diri dalam kain hangat.
Saling memunggungi, tenggelam dalam benaknya masing-masing. Mungkin, esok hari, dikala mereka terbangun, semuanya baik-baik saja. Walau sepertinya, kata itu tidak akan terkabul dengan mudahnya.
Karena ada janji dan luka, yang harus ditepati dan dicoba untuk dilupakan.
"Aku akan berangkat besok pagi." Sekedar memberi tahu, diantar sang karib akan sangat baik, tidak pun bukan masalah.
Namun, Emilia ber-asa, gadis yang sudah menjadi karib dan temannya berbagi isi hati itu akan ikut pergi mengantarnya esok hari.
TBC
selamat sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Itxaropena
RandomEmilia telah melihat bagaimana dunia itu berjalan. Baginya, dunia adalah tempat yang tidak akan memberinya ruang untuk bahagia. Namun saat keluarga sederhana itu mengadopsinya, ia mulai memandang dunia dengan cara yang berbeda. fanfiction. © 2O22, b...