★· stay here

20 11 0
                                    

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.25
───────────────────

Waktu berjalan dengan cepat. Tak terasa, buana pagi telah berganti malam. Lilin menyala di atas warna putih manis, ditemani berbagai macam sajian berbeda di sekelilingnya.

Hari ini, Emilia merayakan ulangtahunnya yang ke dua puluh sekaligus merayakan hari adopsinya. Genap enam tahun gadis itu memiliki keluarga sempurna──walau kini, suasana tak lagi sama.

"Ucapkan harapan mu, dan tiup lilinnya, Lilia."

Gadis itu mengangguk, ia menyatukan kedua tangan. Memejamkan mata di depan cahaya oranye.

'Bagaimanapun nanti, aku akan berusaha menerimanya. Karena aku tidak akan bisa menghindari apa yang telah menjadi takdirku. Namun aku menaruh asa, semoga semua baik-baik saja. Kali ini, bahagia ya, Tuhan?'

Netra nya secara perlahan terbuka kembali. Emilia meniup lilin berbentuk angka dua dan nol tersebut. Setelahnya lampu kembali menyala bersama tepuk tangan dari para tamu yang datang.

"Selamat ulangtahun, kak Lilia!" ujaran ceria dari si gadis penuh warna──Alivia, membawa senyum hangat pada wajah sang pemilik hari.

"Selamat ulangtahun, Emilia. Semoga bahagia selalu, ya." kali ini, sang ibu dari sahabat dekat yang mengucapkan.

Emilia berterimakasih kepada mereka yang hadir. Setidaknya, ia tidak akan merasa terlalu sepi. Disekelilingnya masih ada orang-orang baik. Dan masih ada Hanan yang akan selalu membahagiakan dirinya.

Bolehkah hal itu dikabulkan?

Namun tiba-tiba, Emilia teringat akan sebuah janji yang dibuat dimasa lalu. Anne, sang ibu telah berpulang dan artinya, aku tidak bisa disini lagi.

"Emilia, kau ingin pasta atau makan kuenya saja?" tawar Hanan, memecahkan lamunan gadis itu.

Emilia menunjuk kue nya, gadis itu kemudian mengambil pisau plastik. Memotongnya menjadi beberapa bagian. Yang spesial, yakni gigitan juga suapan pertama, seharusnya ia berikan kepada sang ibu.

Namun, semua sudah berlalu. Gadis itu memberikan suapan pertamanya kepada sang ayah, baru setelahnya Alivia selaku kawan baik.

"Aku ucapkan terimakasih banyak kepada semua yang datang, termasuk anda bibi. Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk datang kemari. Ah, padahal seharusnya anda tidak perlu kemari dan lebih baik istirahat mengingat anda baru keluar dari rumah sakit."

Luna tergelak sesaat, wanita itu tersenyum saat mengusap surai Emilia. "Tidak apa-apa, aku senang putriku memiliki teman yang sangat baik seperti mu. Jangan khawatir ya, aku sudah sehat." pungkasnya memberi kejelasan.

"Oh iya! Besok adalah hari wisuda kita! Apa kakak nantinya akan berkuliah seperti kata tuan Hanan? Akan kuliah dimana!?"

Sang puan terkekeh geli mendengar rentetan tanya yang diutarakan. Gadis itu berkata, "aku sudah bilang, aku akan langsung bekerja. Aku sudah lelah memikirkan tugas sekolah. Ngomong-ngomong, bagaimana denganmu?"

Alivia menghendikkan bahunya acuh, "tidak tahu. Aku akan ikut rencana Tuhan saja." jawabnya.

Malam itu, tika menit dan jam terus berganti. Emilia tiada hentinya tersenyum. Mendengarkan cerita dari kawan baiknya, dari ibu Luna, pun ayahnya sendiri.

── ·𖥸· ──

"Jangan begadang, Lilia."

Gadis itu tersenyum saja. Ia beringsut memberi tempat, yang tak lama diisi oleh seorang yang datang.

Baju hangat dipakaikan di daksa nya. Emilia menyandarkan kepalanya di bahu pria disampingnya. Tangannya menunjuk bulan, lalu turun secara perlahan menunjuk halaman depan── tempatnya sebuah pohon dengan ayunan kayu tua.

"Kedua ibuku tersenyum ayah. Sinarnya cantik sekali.." Emilia menghela napas, gadis itu beranjak, merentangkan tangannya di hadapan Hanan yang menatapnya heran.

"Boleh aku memelukmu, ayah?" ucapnya terdengar ragu, namun bila sudah dijawab dengan sebuah anggukan, gadis itu tak lagi malu untuk segera menenggelamkan diri dalam dekapan sang ayah.

Di sana, Emilia menumpahkan segala rasa yang dipunya. Sedih, bahagia, kecewa, segalanya. Emilia membiarkan air matanya jatuh setelah sekian lama ia coba tahan mati-matian dihadapan pria yang amat disayanginya ini.

Kalau ditanya pasal janji── Emilia tidak pernah memenuhinya. Kalau ditanya apa alasannya── Emilia tidak akan menjawabnya.

"Aku... aku ingin bersama ibu ayah!"

Hanan mendorong gadis itu, melepas dekapan dan menatapnya tajam, "kau gila!? Mau meninggalkan ayah sendiri!? Mau membuat ayah masuk rumah sakit!?"

Hanan tidak akan rela, walau ia pernah berkata, kau harus pergi, pada sang putri tercinta. Hanan masihlah seorang lelaki yang dewasa yang membutuhkan teman dan tempat untuknya mencurahkan isi hati. Dia masih cukup waras untuk mengetahui makna kalimat yang terlontar dsri mulut putrinya.

Selain ibu dan istrinya, harus kepada siapa ia bercerita bila sang puan ikut pergi meninggalkannya?

Sepertinya, Hanan akan menarik kembali semua janji yang telah diucapkannya dulu. Tapi, bolehkah ia menariknya?

"Ayah ingin kau disini, Emilia. Bersama ayah, di rumah kita, selamanya. Apa─apa kau tega meninggalkan pria tidak berkeluarga ini sendirian di tengah kerasnya kehidupan?"

Emilia menatap nanar sang ayah. Kalau ditanya apakah ia tega, tentu saja tidak. Apa pria itu pikir bahwa semua afeksi yang diterima olehnya tidak memiliki pengaruh apapun?

"Tapi ayah... kita sudah ber─"

"janji? Kau ingin mengatakan hal konyol di hari ulangtahun mu yang ke lima belas itu? Kau benar-benar ingin pergi? Tidak sayang padaku?"

Gadis itu menggeleng ribut, "aku menyayangimu ayah, tapi aku tidak bisa ingkar janji! katakan! katakan bahwa kaulah yang bersalah karena membuatku mengucapkannya! Ayah bodoh! Bodoh sekali, bodoh!"

Tirta yang jatuh semakin besar dirasa, ucap tajam, dan tangis pilunya sungguh tidak menyenangkan untuk didengar.

Hanan mendekapnya erat, sangat erat. Seolah bila ia merenggangkan tangannya sedikit saja, gadis itu akan menghilang.

Tidak, Hanan tidak akan membiarkan putri kecilnya ini pergi. Walau harus menanggung semua akibat karena melanggar janji.

Presensi Emilia membawa harsa dalam keluarga kecilnya yang dikatakan tidak akan pernah bisa utuh selamanya. Senyum dan tawa, berbagi cerita hingga membuat kenangan bersama─Hanan tidak akan lupa setiap detiknya.

Karena Emilia, ia merasakan bagaimana hangatnya menjadi seorang ayah. Karena Emilia ia bisa tahu bagaimana rasanya memiliki keluarga yang utuh. Kehidupan sederhana dengan keluarga kecilnya.

Walau tak pernah ada hubungan darah di dalamnya.

Hanan saat ini hanyalah seorang pria lemah yang rapuh. Dia telah kehilangan banyak hal. Cinta dari istrinya, kasih sayang keluarganya─ apa harus ia kehilangan satu-satunya permata yang ia punya sekarang?

"Emilia, aku─aku akan bersujud di kaki mu jika kau inginkan hal itu, tapi kumohon.. tetaplah disini!"

Biarlah dia menjatuhkan harga diri di hadapan Emilia. Ini adalah usahanya terakhirnya untuk mempertahankan apa yang ia miliki.

Hanan tidak ingin mendapatkan penyesalan lagi.



TBC

hal yang menurutku paling sulit dalam
menulis itu adalah membuat bagian yang
ada unsur sedihnya.
karena, nggak cuma tulisan yang harus bagus,
tapi juga perasaan yang ada itu harus bisa
sampai ke pembaca T^T
semoga ini bisa kerasa ya:(

[✓] Itxaropena Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang