★· rain

19 13 6
                                    

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.17
───────────────────

Hari ini, seperti hari-hari yang lalu. Langit kelam, dan udara yang tak menyenangkan. Jalanan kian sepi, di waktu tirta amarta mulai menyerang bumi.

Dalam sunyi, ia duduk menyendiri. Memandang taman bermain anak-anak diseberang jalan. Berada di bawah hujan, berdiam diri seperti patung. Walaupun tubuhnya basah dan terancam jatuh sakit, ia tidak peduli.

Baginya, tubuh tempat jiwanya berada ini telah mati sejak lama.

Ini bukan kali pertama bagi Willy berdiam diri di bawah hujan, ditempat yang sama, dengan waktu yang sama.

Di depan toko yang tak lama lagi akan digusur dan dijadikan sebuah salon, di seberang jalan, berhadapan dengan taman anak-anak yang berada di samping sebuah sekolah.

"Willy!" Suara keras datang menghampiri, pria berpayung hitam mengatur nafasnya. Menatap khawatir pada yang lebih muda.

"Ayolah, jangan membuatku kerepotan dengan terus berdiam diri di tengah hujan! Bila kau sakit, aku yang disalahkan! Ayo pulang!" pungkasnya, ia menarik pergelangan tangan adiknya. Namun ditepis oleh sang kakak.

Willy melirik tajam, dia benar-benar tak menyukai kehadiran kakaknya itu. "Jika kau tidak ingin repot karena ku, maka jangan mengurusku dan enyah dari hadapanku, sekarang!" hardiknya, lalu kakinya melangkah pergi.

Sang tuan yang bernama lengkap Yudhana Adipati  termangun, menggenggam erat gagang payungnya. Menatap nanar punggung pria itu, lagi-lagi seperti ini.

Yudha hanya dapat menghela nafas berat, ia berjalan kembali ke mobilnya. Memang kurang ajar, seharusnya dia berusaha membujuk, namun memilih menurut perintah yang tidak baik.

Tapi apalah dayanya, Willy itu tidak akan pernah mendengarkan ucapannya. Mengakui keberadaannya saja enggan, apalagi menuruti nasihatnya.

Itu semua hanya terjadi dalam mimpi.

── ·𖥸· ──

Sudah lewat pukul sembilan. Dan Willy masih berjalan di bawah hujan selayaknya gelandangan. Pria itu menghela nafasnya lagi dan lagi.

Saban hari, selalu saja seperti ini.

brukk!

"Oh Tuhan! m–maaf—maafkan aku!" Anak asing itu berucap dengan tergesa, ia berlari menerobos hujan. Seperti dikejar oleh sesuatu.

Willy tersenyum, "anak-anak jaman sekarang bila sudah diburu waktu, selalu saja melupakan tata krama." gumamnya.

Willy melanjutkan perjalanannya, dengan tujuan entah kemana. Namun sesaat langkahnya terhenti karena merasa bahwa ia telah menginjak sesuatu.

Pria itu melihat ke bawah, ia mengangkat kakinya dan menemukan sebuah handphone yang sudah tidak bisa dijelaskan kondisinya.

Retak, bahkan dilihat lebih jelas lagi, handphone itu sudah hancur.

Dia berjongkok, memungut benda pipih tersebut.

"Siapa yang memakai benda semacam ini di jaman sekarang? Sudah rusak parah, kasihan."

[✓] Itxaropena Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang