★· two girls

19 14 0
                                    

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.13
───────────────────

Emilia memandang wajah damai Hanan yang berada tepat di atasnya kala ia membuka netra. Nampak lelah dengan kerutan di dahinya, memperjelas bahwa pria itu tidak tidur nyenyak semalam.

Segera, Emilia beranjak. Tidak lupa , ia mengatur bantal yang bodohnya tidak digunakan oleh sang ayah ke sofa. Kemudian dengan perlahan sambil berdoa dalam hati, ia membenarkan posisi tidur Hanan menjadi lebih nyaman.

Emilia mengusap keningnya yang terasa basah akibat peluh. Gadis itu melirik jam, dan betapa terkejutnya ia menyadari bahwa waktu yang dikira baru pukul lima pagi ternyata sudah berada di angka sembilan pagi.

Hujan, selalu mampu membuat orang-orang nyaman ketika terlelap hingga lupa akan waktu.

Emilia cepat-cepat membersihkan diri, sekedar membasuh wajah baru setelahnya ia keluar dari ruangan guna mencarikan sarapan bagi dirinya dan sang ayah. Mungkin tiga porsi, karena ia menaruh harap bahwa dengan turunnya air mata Tuhan, wanita tercintanya itu akan terbangun.

Dilain tempat, di sebuah ruang rawat. Wanita yang sudah terpejam dalam waktu lama akhirnya telah membuka netra, dan kini ia sedang menerima suapan penuh kasih dari sang putri tercinta yang setia menjaga.

Alivia menatap penuh binar pada wanita cantik dihadapannya itu. Dia tidak dapat menahan senyum, hingga pipinya terasa kram karena tak henti-hentinya menarik garis lengkung yang indah bila dikata banyak orang.

"Al, ibu takut jika kamu terus menerus tersenyum seperti itu." Ujar sang ibu.

"Aku tidak bisa ibu, aku benar-benar tidak bisa menahan senyumku lagi saat ibu membuka mata ibu setelah dua minggu terlelap! Banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu bu. Tapi mengingat kata dokter bahwa ibu harus istirahat aku akan menundanya dan akan aku lakukan dilain hari!"

Wanita itu, Luna tersenyum hangat. Sebelah tangannya terangkat guna mengacak-acak rambut harta berharganya itu. "Ibu, suapan terakhir setelah itu minum obatnya ya!" Seru Alivia yang terdengar bahagia, sangat. Luna merasa beruntung bisa mendapatkan hak asuh putrinya ini.

Luna bahkan tidak bisa berpikir jika seandainya mantan suaminya lah yang mendapatkan hak asuh Alivia. Ia yakin pria itu tidak akan membiarkan dirinya memeluk sang putri, bahkan sekedar menatap pun tidak akan diberikan izin.

brakk!

Dobrakan yang mengakibatkan pintu terbuka dengan dorongan kencang hingga menimbulkan bunyi keras akibat tubrukan membuat kedua perempuan itu menoleh dengan raut wajah terkejut.

Di ambang pintu, nampak seorang lelaki dengan kemeja putihnya yang basah sedang menetralkan nafas yang memburu.

Dengan langkah penuh lelah, ia menjatuhkan dirinya di lantai samping pintu. Dan dengan kakinya, ia mendorong pintu tersebut hingga ruangan kembali diisi sunyi.

"Kau ini kenapa?" tanya Luna, mengamati pria di hadapan yang dengan rakusnya menenggak habis minuman yang seharusnya digunakan Luna untuk meminum obat.

Pria itu melebarkan netra, gigi putihnya yang berjajar rapi ditampilkan lengkap dengan lesung pipi yang terpampang jelas di wajahnya.

"Aku dikejar oleh mereka, jadi harus memacu kaki dengan cepat. Ini adalah usahaku untuk menemui mu." jawabnya dengan jujur.

Ia akhirnya berdiri, berpindah ke tempat duduk yang jauh lebih nyaman. Sesaat, ia melirik gadis muda di hadapan yang nampak kebingungan akan siapakah dirinya. Dia tidak heran, anak itu belum tahu apapun, sepertinya.

"Ibu, dia siapa?" tanya Alivia dengan berbisik, netra nya menatap takut dan ragu. Tak terlalu menyukai kehadiran pria itu diruang ini.

Luna hanya dapat menyunggingkan senyuman. "Ada waktunya kamu akan tahu, sayang. Tapi dia adalah teman berharga ibu." ujarnya halus.

Alivia sebetulnya tidak paham dengan pasti, namun ia mencoba mengerti. Gadis itu membereskan peralatan makan untuk ia kembalikan ke kantin. Ia cukup lega karena ibunya diperbolehkan makan makanan lain selain bubur rumah sakit yang rasanya sudah pasti hambar.

"Alivia, ibu mau bicara dengan teman ibu ini. Kamu bisa pergi dulu kan?"

Alivia menatap, dan tidak lama mengangguk. "Baiklah bu, aku juga ingin meminta izin mu. Aku mau ke toko." pungkasnya, meminta izin yang dibalas anggukan oleh sang ibu.

Alivia mengambil tasnya, ia mencium pipi sang ibu lalu berpamitan. Meninggalkan kedua insan yang terdiam menatapnya pergi.

Luna menghela nafas panjang, menatap pria di hadapan yang tak melepas pandang dari pintu yang belum lama tertutup.

"Ponakan ku cantik sekali, kak."

── ·𖥸· ──

Bagaskara telah berada tepat di atas kepala. Emilia mendengus, inilah yang tidak ia sukai dari kehidupan kota besar. Bilamana di tengah hari, cuaca yang seharusnya tak begitu terik akan menjadi kemarau. Bercampur dengan kehidupan kota yang ramai──sebuah kekacauan yang tak dapat dihindarkan.

Emilia terhenti begitu mendapati yang ingin ditemui berada tak jauh dari posisinya sekarang.

"Alivia!" panggilnya, membuat sang pemilik nama mengedarkan pandangan hingga akhirnya menemukan sang pemanggil.

Emilia tersenyum seraya melambaikan tangan. Ia berlari kecil menghampiri gadis itu ke hadapan sebuah toko yang tutup karena sedang dibangun ulang. Tempat pertemuan yang menjadi awal kisah pertemanan.

Citta Emilia sebelumnya hanya ingin mencarikan kopi sesuai permintaan sang ayah. Namun ia banyak berbelok, tidak kuasa menahan diri untuk tidak melangkahkan kaki ke toko toko makanan ringan. Entahlah, sejak kemarin, saat Anne masuk rumah sakit. Ia tidak bisa berpikir jernih dan terus memakan camilan guna memperbaiki suasana hati.

"Kak, kau tidak pergi bersekolah?" Alivia memandang heran, ia mengenal Emilia sebagai pribadi yang anti izin dalam sekolah. Tidak pernah sekalipun ia izin, mungkin hanya mengikuti pelajaran sampai jam keempat. Itu pun diwaktu ia demam.

Emilia tersenyum, "aku tidak bisa meninggalkan ibu. Dan aku tidak bisa membuat ayah semakin lelah setelah menjaga ibu serta diriku semalaman."

Kening Alivia berkerut, "aku tidak terlalu mengerti. Apa maksudnya itu?"

"Oh, itu.. ibu masuk rumah sakit kemarin. Tolong, doakan agar ibuku segera sembuh dan selamat, ya?"


TBC

(tidak tahu ingin mengetik apa.)

[✓] Itxaropena Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang