𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.6
───────────────────Citta Hanan untuk menghabiskan waktu dengan Emilia harus tertunda, lagi. Gadis itu meminta agar langsung diantarkan pulang karena temannya, yang anaknya panggil Livia tidak memiliki banyak waktu untuk berlama-lama dengannya.
Rumah bercat putih itu suasananya sedikit ramai, ada Anne yang selalu mengisi hening dengan tawa anggunnya ketika mendengar candaan dari sang suami, Hanan. Dan suara Emilia yang terdengar frustasi karena tak mengerti satupun rumus yang dijelaskan oleh Alivia.
"Kak Lili, sudah jam segini. Aku harus ke rumah sakit. Kita lanjutkan lain kali saja." ujar Alivia, menyudahi kegiatan itu.
Emilia bersorak pelan, gadis itu berlari kembali ke kamarnya untuk mengembalikan buku buku penuh coretan angka kemudian mengambil jaket. Berlari secepat kilat kembali ke ruang utama.
"Aku akan antar, ayo." katanya, "ayah, berikan kunci mobil mu. Aku mau mengantar Livia." pintanya kepada sang ayah, sebelah tangannya terulur dengan telapak terbuka.
Hanan mengambil kunci yang ia simpan dalam saku, "hati-hati di jalan, dan jangan menabrak lampu merah seperti bulan lalu." peringat Hongjoong yang diangguki oleh Emilia.
Kedua gadis itu berpamitan, kemudian pergi. Meninggalkan dua insan yang menatap pintu putih yang baru saja tertutup kembali.
"Hanan.."
Pria itu menoleh, menatap sang istri, "ada apa, Anne?"
"Berapa lama lagi?"
Dan ia tidak lagi membalas ucapan itu. Ia hanya diam, menggenggam erat tangan sang istri. Memandangnya dengan tatapan yang penuh kasih dan cinta.
"Mau makan malam bersama nanti?" tanyanya balik. Anne mengangguk, pertanda bahwa wanita cantik itu setuju.
── ·𖥸· ──
Mereka yang berpakaian putih bergaris merah berlarian di sepanjang koridor, di depan sebuah ruang dengan lampu berwarna merah menyala menjadi tempat dimana kedua gadis itu berada.
Alivia menggigiti kuku jarinya, sedangkan Emilia terus mengusap punggung gadis itu. Netra Alivia bergerak kesana kemari, mencoba untuk melihat bagaimana suasana di dalam sana. Penasaran dengan segala yang terjadi di ruangan itu.
Pada jam ini, ibunya sedang dioperasi. Berjuang di antara hidup dan mati. Emilia menatap juga ruangan itu, dari balik kaca yang buram, ada beberapa perawat dan tiga orang dokter ahli sedang bekerja.
"Kau tidak perlu khawatir, Livia. Semua akan baik-baik saja." ujarnya, memberi ketenangan pada gadis itu dengan memeluknya hangat.
Terus mengusap punggungnya dengan lembut. Emilia tidak bohong jika saat ini pun dia juga ketakutan. Dia takut, segala hal yang diharapkan anak itu kandas karena sebuah kesalahan atau yang orang kebanyakan sebut sebagai takdir.
Namun, Emilia yakin. Tuhan telah memberi sejuta keberuntungan pada anak manis dalam dekapannya ini. Dan seperti Tuhan yang senantiasa memberinya keberuntungan selama ini, Tuhan akan memberikan keberuntungan lagi dengan mengembalikan sang ibu kepada putrinya.
Dua jam menanti, akhirnya lampu yang semula berwarna merah telah padam. Bersamaan dengan hal itu, para dokter keluar dari ruang operasi sembari mengelap keringat mereka.
Alivia bangkit, berjalan ke arah ketiganya dengan netra yang sesekali mencuri pandang ke dalam sana.
"Dokter, bagaimana operasi ibu ku? Semuanya lancar kan? Kapan ibu bangun?" tanya bertubi-tubi.
Ketiga dokter itu saling pandang, kemudian melempar senyum kepada Alivia. "Tentu saja, operasinya berhasil. Tapi anak manis, untuk pertanyaan kapan ibu mu bangun itu belum bisa dipastikan. Karena itu, kau harus terus berdoa ya." perjelas salah seorang dokter yang turut menangani operasi, Dena.
"Benar sekali, kau adalah anak yang hebat. Jika terus berdoa, aku yakin ibu mu akan segera bangun lalu memelukmu erat." imbuh yang lain, sedangkan sisanya hanya diam dengan kepala di angguk-anggukkan.
Alivia tidak lagi dapat membendung harsa yang tertahan, gadis itu berulang kali mengucap terimakasih kepada tiga orang berjasa yang telah membuka pintu harapannya.
"Terimakasih banyak dokter, terimakasih!"
Dena mengangguk, ia melepas sarung tangannya, mengusap surai gadis itu sambil tersenyum hangat. "Sudah tugas kami untuk melakukannya. Kami permisi dulu ya."
Emilia dan Alivia sama sama mengangguk. Emilia memeluk kembali Alivia yang masih menangis, bahagia kala melihat sang ibu dikeluarkan dari ruang itu.
"Ucapan ku benar kan? Kau itu istimewa, jadi Tuhan tak akan pernah membiarkan mu bersedih."
Alivia menyeka air matanya, gadis itu menatap Emilia. Senyum manis terukir di wajahnya, sangat cerah.
"Kak Lili, terimakasih sudah menemaniku dan ikut berdoa denganku! Aku sayang sekali padamu!"
Emilia memberikan senyumannya. Gadis itu menarik Alivia, menuju ruang rawat sang ibu yang baru. Namun, karena belum diizinkan masuk, keduanya hanya bisa memandang dari balik jendela.
Alivia menatap dengan mata berkaca-kaca, netra nya tak ingin lepas dari sang ibu yang tertidur nyenyak. Telapak gadis itu menempel di jendela, seolah ia sedang menggapai yang berada di atas ranjang.
Emilia mengalihkan pandang, berbalik membelakangi ruangan itu bersama pemandangan yang ada di dalamnya.
Ia memejamkan matanya, bersidekap menatap lantai putih.
Alivia, aku yakin semua akan baik-baik saja sekarang. Seperti kau yang selalu tersenyum walau keadaan mu seperti ini, kebahagiaan akan selalu ada bersamamu sekalipun kau berada di titik terendah mu. Kau lebih beruntung dariku.
TBC
itxaropena menempati #1 di ATEEZ fanfiction?
bahagia banget!
ini bahkan diluar dari ekspetasi ku loh.
kok bisa sih?
kepada readers tercinta dan terkasih ku~
terimakasih banyak ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Itxaropena
DiversosEmilia telah melihat bagaimana dunia itu berjalan. Baginya, dunia adalah tempat yang tidak akan memberinya ruang untuk bahagia. Namun saat keluarga sederhana itu mengadopsinya, ia mulai memandang dunia dengan cara yang berbeda. fanfiction. © 2O22, b...