★· dinner

18 12 0
                                    

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.28
───────────────────

Benak Alivia masih dipenuhi tanya. Perihal ucapan Emilia yang katanya akan pergi, namun entah kemana. Ia belum diberitahu dengan pasti. Pun sebuah tanya akan janji yang dikatakan sebelumnya, memang, artinya apa? Dan, dengan siapa?

Menit demi menit berlalu cepat, Alivia memeluk bantal yang berada tak jauh dari posisinya. Kepalang jenuh menunggu Emilia yang tak kunjung selesai dengan acara mandi nya.

Tika jam sudah menunjuk pukul enam petang, barulah pintu putih lainnya dalam ruangan itu terbuka. Sang pemilik ruang─Emilia, keluar dari tempat mandi sambil mengeringkan surai.

Sesaat, Emilia mencoba mengacuhkan eksistensi Alivia. Untuk sekali dan terakhir kalinya, ia ingin sedikit bersenang-senang dengan membuatnya kesal.

Namun, bila sudah kelewat dekat sampai-sampai dikata sepupu daripada sahabat, Emilia gagal melakukan aksi. Karena nyatanya, selesai menutup pintu kamar mandi, ia langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang.

Tanpa peduli tatapan nyalang dari gadis di hadapan. Alivia itu, anaknya kelewat disiplin soal kebersihan. Dan Emilia berterimakasih karena sikap disiplin itu, ia bisa menjadi pribadi rajin untuk bersih-bersih. Walau terkadang, dirinya acap kali meninggalkan kewajiban itu.

Alivia mendengus, "aku berniat memarahi mu, tapi ditunda dulu. Pertama, bisa jelaskan apa maksudmu tadi?"

Manik kembar milik Emilia bergulir. Mengalihkan atensi menuju hal lain. Enggan menatap netra yang sedang menatap; menuntut jawab.

Alivia mendengus, lagi. Terlalu kesal karena Emilia enggan berbagi duka. Selalu menyimpan asrar yang membuat hatinya luka seorang diri; seolah tak punya tempat berbagi.

"Manusia itu, tidak selalu bisa menyimpan segalanya sendiri. Apalagi soal luka, memendamnya terlalu lama itu tidak baik untuk diri sendiri."

Emilia kembali memusatkan atensi, menarik kurva sampai setengah dari netra nya menipis. "Belajar darimana kata seperti itu?" tanyanya penasaran, seharusnya Emilia tak perlu mengucap tanya. Pasal kata bijak semacam itu, Alivia sudah sering mengeluarkannya.

"Dari, k-kak Willy?"

"Pftt... kau memanggil pria tua itu, kak?" Emilia terbahak keras, kentara mengejek sebuah kata sopan yang gadis itu ucapkan. Sampai perutnya terasa nyeri, pun matanya yang mulai menitihkan kristal bening.

Kelewat lucu untuk didengar, sepertinya.

"Apa yang lucu? Dia menyuruhku memanggilnya begitu. Dia tidak suka dianggap tua, katanya."

Emilia semakin tertawa semakin keras. Sampai-sampai membuat Alivia menyembunyikan wajah yang memerah di dalam bantal. Merasa malu atas kalimat yang sebelumnya diucap.

"Astaga, haha.. aku tidak percaya ini." Emilia perlahan bangkit ke posisi duduk, gadis itu menyeka tirta yang berada di ujung netra. Ia menggelengkan kepala seraya menghentikan tawa secara perlahan.

Ia mengatur nafasnya, lalu memandang yang lebih muda, "artinya── kau, sering bertemu dengannya kan? Oh! Apa jangan-jangan kalian sudah, menjadi kekasih?" tanyanya dengan ekspresi jahil yang sedikit menyebalkan.

[✓] Itxaropena Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang