𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.14
───────────────────Diawali dengan jus jeruk dan kopi, lalu camilan berupa cheese cake. Suasana ramai kota yang agaknya mulai tenang karena hujan dan alunan musik jazz yang memenuhi ruang.
Ini bukan pertama kalinya bagi Alivia mendapati teman yang telah dianggap sebagai kakaknya itu menatap langit redum dengan tatapan mata yang dipenuhi kegelisahan.
Bukan juga hal yang mengejutkan apabila perempuan bernama Emilia itu kerap memesan kopi lalu dipadukan dengan cheese cake yang akan menghasilkan rasa tak karuan. Sejujurnya, Emilia tidak menyukai keduanya──batinnya sedang kacau. Alivia menangkap hal itu.
Alivia mendadak merasa begitu asing pada sosok di hadapan. Sebelumnya──sejak berteman dekat dengan Emilia──Alivia tidak pernah diberikan suasana yang kelewat canggung karena Emilia akan selalu membuka percakapan dengan topik random nya. Dan detik waktu yang berlalu sunyi di antara keduanya, memberikan ketidaknyamanan pada sisi yang lain.
"Kak, kau membawaku kemari bukan hanya untuk mengamatimu melamun, kan?" Alivia membuka percakapan, dia sudah tidak tahan pada ketidaknyamanan yang turut mengacaukan benaknya.
Emilia tersentak pada suara lembut yang menyapa rungu. Bodoh, begitu batinnya merutuki diri karena mengacuhkan yang lebih muda. Emilia memasang senyuman, benar-benar senyum apik yang begitu pandai membungkus luka. Seolah sebelumnya tidak terjadi apa-apa.
"Maafkan aku, akhir-akhir pikiranku tertuju pada banyak hal. Aku tidak bermaksud untuk mengacuhkan mu, Al."
Gadis itu mengangguk pelan, menyuapkan potongan kecil makanan manis ke dalam mulutnya. Netra itu kembali memandang perempuan di hadapan dengan kekhawatiran pasti di wajahnya.
"Kau bisa bercerita padaku, kak."
Emilia menggelengkan kepalanya, membuat Alivia menghela nafas. "Apa kakak berfikir bahwa aku bukan pendengar yang baik?" tanyanya, dan dibalas gelengan kepala.
Padahal biasanya ia akan berteriak keras bila menyangkut pertanyaan semacam itu. Dari responnya itulah Alivia dibuat paham bahwa saat ini, Emilia benar-benar dalam kondisi batin yang tertekan.
Alivia sudah mendengar kabar bahwa ibu angkat Emilia, Anne dilarikan ke rumah sakit juga telah dipastikan bahwa waktunya tidaklah banyak. Dikala ia menjenguk, Hanan sendirilah yang mengatakan hal itu.
Alivia tahu betapa besarnya kasih sayang Emilia untuk Anne walaupun mereka hanyalah seorang ibu dan anak angkat. Alivia tahu betapa besar penyesalannya karena bertindak diluar kendali kepada ayahnya. Semua itu Alivia dengar dari Hanan.
Alivia tidak mengenal keluarga itu dengan baik, hanya sebatas tahu bahwa Emilia menyayangi mereka lebih dari apapun. Namun, diwaktu Hanan menaruh kepercayaan penuh padanya dan menceritakan banyak hal──yang seharusnya tidak diberitahukan kepadanya──Alivia mulai mengerti bahwa dalam keluarga itu, semuanya sedang didera bencana.
Dilanda ketakutan akan kehilangan, didera kepanikan bila yang lain tidak dapat dipertahankan lagi.
Pelik, Alivia yang bahkan tidak mengalami semua itu seolah ditarik masuk untuk merasakan beban mereka.
"Permisi, ini strawberry cake nya." seorang waiters meletakkan sepiring kue berwarna putih dengan hiasan buah merah berbintik itu.
Emilia melirik, mengabaikan. Sedangkan Alivia dipenuhi tanya, "saya ingat kami tidak memesan ini."
Waiters tersebut tidak menanggapi banyak, hanya memberikan secarik kertas yang entah apa isinya dan berlalu meninggalkan keduanya. Alivia yang dibalut oleh rasa penasaran pun, membuka kertas itu. Membaca isinya dengan teliti lalu menarik garis senyum tipis kala mendapati siapa pengirimnya.
Ajaklah dia ke taman kota, bawa dia menuju toko boneka atau penjual awan. Dia akan tersenyum senang dan mampu melupakan kesedihannya walau hanya sesaat.
Hanan A.
Matanya berpendar ke segala arah, hingga mendapati yang dicari menatap dengan setengah wajah ditutup dengan majalah. Alivia berucap terimakasih tanpa suara, sehingga orang yang ditatap mengangguk dan memberikan senyumannya.
"Kak Lili, apa kau mau berjalan-jalan denganku ke taman kota?"
Lirikan mata dari sang pemilik nama tiba-tiba saja membuat Alivia merasakan jantungnya berdegup kencang. Bukan karena senang tapi karena tatapan itu seolah mengatakan bahwa dia, Emilia sedang tidak ingin diajak bermain-main.
"Kau membuatku seperti patung disini kak. Apa gunanya mengiyakan permintaan mu untuk ditemani kemari jika pada akhirnya kau mengacuhkan ku? Hampir satu jam aku hanya duduk mengamatimu." Alivia berujar kesal, gadis itu menggeser bangkunya.
Berdiri menatap Emilia yang bergeming di tempatnya, sebenarnya ada apa?
"Aku akan kembali ke rumah sakit. Terserah apa yang akan kau lakukan sekarang kak. Kupikir kau percaya padaku, tapi sepertinya tidak. Selamat menikmati kesendirian mu."
Alivia beranjak, meninggalkan Emilia dengan lamunannya. Hanan menghela nafas berat. Dia tidak lagi memiliki cara bila putrinya itu sudah seperti itu. Namun, bukan hanya berpikir tentang bagaimana ia harus menghiburnya. Tapi kini, Hanan juga bertanya-tanya.
Apa yang terjadi pada putrinya hingga dia mengabaikan Alivia sampai seperti itu?
Citta Hanan ingin menghampiri harus terhenti saat mendapati sebuah pemberitahuan di ponselnya. Pria itu tanpa menghiraukan Emilia segera beranjak dari tempatnya, meninggalkan beberapa lembar uang di meja guna membayar minumannya.
Berlari menyebrangi jalanan dan menerjang hujan yang semakin menjadi.
"Anne, kau tidak bisa memperlakukan aku seperti ini."
TBC
kurang panjang ya (?)
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Itxaropena
AléatoireEmilia telah melihat bagaimana dunia itu berjalan. Baginya, dunia adalah tempat yang tidak akan memberinya ruang untuk bahagia. Namun saat keluarga sederhana itu mengadopsinya, ia mulai memandang dunia dengan cara yang berbeda. fanfiction. © 2O22, b...