★· graduation

19 12 1
                                    

𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.26
───────────────────

"Emilia, aku─ aku akan bersujud di kaki mu jika kau inginkan hal itu, tapi kumohon.. tetaplah disini!"

"Janji, tetaplah janji, ayah."

Kalau boleh, Hanan ingin melipur dari hadapan sang puan. Malu, teringat ucapannya di masa lalu. Seputar janji dan sikap menanggapi bilamana nantinya ada yang ingkar.

Pria itu bertekuk lutut, ia mengaku sumarah. Hilang akal─tidak tahu harus berbuat apa lagi.

"Aku permisi, ayah." Emilia berucap, terdengar ragu bahkan kelihatan ia tak mampu.

Gadis itu melewati daksa Hanan, menaiki tempat tidurnya dan menutup diri.

Perbincangan malam di bawah bulan, telah usai.

── ·𖥸· ──

Hari ini, merupakan akhir dari perjuangan selama tiga tahun dan dibukanya lembar baru diluar gedung putih itu.

Seharusnya penuh dengan raut bahagia. Bukan sebaliknya, menunjukkan wajah gelisah.

Selaksa sekon berlalu dengan sia-sia. Kedua insan itu saling berdiam diri, hidup dalam benaknya masing-masing.

Bahkan, sampai suara riuh menyapa rungu pun, keduanya bergeming seolah tak pernah mendengarnya.

"Kak Lilia! Apa kau mendengarkan ku!?"

Emilia tersentak, bersama dengan netra yang seketika tertuju pada yang lebih muda. Nampak kesal karena diabaikan.

"Maaf maaf. Jadi, ada apa?"

Emilia akhirnya ikut menjatuhkan diri di kursi panjang. Gadis itu menanti akan kalimat yang ingin diucapkan.

Alivia menghela napas panjang, "sudahlah, kau tidak akan mendengarkan ku." barangkali muak akan sikap yang selalu sama. Gadis itu bangkit dan melenggang pergi.

Memasuki aula tempat acara akan dilaksanakan.

Emilia menatapnya, ada rasa bersalah dalam kalbunya. Sejujurnya, ia ingin bercerita tentang segalanya. Namun ia takut, asrar yang selama ini dijaga akan terdengar sampai kemana-mana.

Walau ia yakin, Alivia bukanlah gadis yang seperti itu.

"Baiklah kepada seluruh peserta didik dan orang tua, harap segera memasuki aula."

Pembawa acara telah berujar, Emilia bangkit dengan segera. Berjalan sedikit tergesa memasuki ruang utama.

Sepintar, ia menatap netra di seberang yang terlihat jelas menatapnya. Namun segera ia memutuskannya. Tak ingin berlama-lama, karena hari ini ia tidak ingin mengingat luka.

Ia berdiam diri anantara kumpulan siswa. Tangannya terkepal erat, hari yang dinantikan akhirnya tiba. Tapi sebaliknya, ini juga merupakan hari yang ingin ia tunda kedatangannya.

"Terimakasih banyak karena telah berjuang melewati waktu bersama, kisah kita──"

Banyak kata perpisahan yang terucap. Sampai-sampai membawa air mata, karena tak rela berpisah setelah lama bersama.

Pandangan Emilia teralihkan. Semula menatap seorang pemuda yang menjadi wakil kelasnya untuk berpidato, berganti pada seorang pria di kursi sana.

Melalui tatapan netra, ia seolah berkata, aku tidak sanggup. Seolah ia mengerti, sang tuan menganggukkan kepala sambil tersenyum. Tangannya bergerak pelan.

Gerak tubuhnya seolah membalas dengan kata, tidak apa, semua akan baik-baik saja.

Emilia kembali menghadap depan. Menenangkan diri dan jantung yang berdegup kencang dengan berulang kali mengatur napas.

'Ya, semua akan baik-baik saja. Iya kan, ibu?'

"Semoga bahagia, dan sukses untuk semuanya!"

Gemuruh suara tepuk tangan dari seluruh pengisi ruangan. Melempar topi mereka selayaknya wisuda di universitas─bersorak-sorai merayakan kelulusan.

Setiap orang tua dibuat menangis haru saat anak-anak mereka menaiki panggung, menerima medali, pun sebuah penghargaan.

"Selamat, selamat atas kelulusan kalian semua!"

Lalu, satu persatu berbaris rapi bersama para pengajar. Berfoto ria untuk terakhir kalinya sebagai seorang pelajar di tingkat menengah atas. Sebelum kembali menjalani hari esok dengan kisah yang baru.

── ·𖥸· ──

Sebagai hadiah, Hanan sengaja membawa sang putri bersama karibnya menuju sebuah restoran. Dari kaca, pria itu mendapati kedua anak dara yang duduk dibelakang tengah mengamati lembar foto yang dibawa.

"Ah, coba lihat! Semua foto yang ada, hanya topi ku yang nampak tapi tidak dengan wajahku!"

Alivia menggerutu, mendapati dirinya hanya nampak setitik di setiap gambar hitam putih itu. Sedangkan Emilia tergelak, merasa terhibur atas gerutu gadis di sebelahnya.

"Itu karena kau pendek. Tapi tidak apa-apa kan? Kita sudah melewati tiga tahun yang melelahkan."

"Tetap saja─ kau mengatai ku pendek!?"

Emilia tergelak, Hanan tersenyum dibuatnya. Untuk sekarang, tawanya itu sangat berharga. Ada bahagia atas segala keberhasilan yang dicapai putrinya. Namun akan ada lara─ Emilia akan meninggalkannya.

Sesuai perjanjian beberapa tahun lalu. Setelah Anne berpulang, Emilia harus menjauh atau lebih tepatnya pergi dari kehidupannya. Hanan kira dia tidak akan terluka karena tak ingin menganggap anak itu benar-benar menjadi bagian dari hidupnya.

Tapi, semakin lama─ semakin waktu berlalu, apa yang ia rasakan dan ia putuskan terasa aneh. Membuatnya gundah sepanjang waktu. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah aku sudah melakukan hal yang benar?

Enam tahun berjalan semakin cepat, rasa takut kehilangan membuat Hanan ikut takut kehilangan Emilia seperti Anne. Namun, janji tetaplah janji. Bila tak ditepati─

"Ayah, kau terlihat lelah. Ingin ku gantikan?"

Hanan menengok sebentar, ia menggeleng sambil tersenyum. "Tidak apa, ayah baik-baik saja. Hanya berpikir apa kita lebih baik merayakan kelulusan ini dengan makan siang bersama atau ke tempat lainnya? Oh, bagaimana jika pantai?"

"Itu memang terdengar bagus─"

"Tidak!" Alivia menyela dengan tegas, "laut itu berbahaya, cuaca sedang tidak bagus. Kemungkinan akan ada banyak ombak besar. Berbahaya datang saat cuaca seperti ini. Terlebih, awan mendung itu─ seperti akan ada hujan yang besar." lanjutnya, membuat kedua orang sisanya kembali memikirkan tempat yang akan dituju.

"Bagaimana jika berpesta di rumah saja? Aku yakin kita masih memiliki daging di rumah. Itu lebih baik daripada bepergian tapi belum mempunyai tujuan."

"Ide bagus, Alivia kau bisa mengundang ibumu datang."

Alivia menarik kurva, "ibu dibawa ke rumah bibi untuk dirawat, jadi aku tidak bisa mengundangnya. Tapi aku benar-benar berterimakasih atas ajakan mu, tuan."

Hanan mengangguk paham. Emilia merangkul gadis itu, "tuan? Itu berlebihan. Kau cukup memanggilnya pria pendek."

"Emilia!"


TBC

hai:)

[✓] Itxaropena Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang