𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 O.11
───────────────────Chandra telah menduduki singgasana bersama jutaan lintang menghias bumantara. Payoda kelam yang semula hendak menurunkan badai, berlalu pergi terbawa hembusan angin menuju sisi lain kota.
Langkah kecilnya begitu pelan, di atas jalanan abu-abu kehitaman, di tengah ramainya perkotaan, diselimuti dinginnya angin malam. Emilia berjalan, seperti raga tanpa jiwa. Sesaat, otaknya berhenti berputar. Tak dapat berpikir jernih seperti biasanya karena amigdala hanya dipenuhi oleh sesosok wanita berambut coklat pemilik senyum indah yang kelewat sempurna bernama Annette.
Setibanya ia di depan ruang rawat, Emilia termangu sesaat. Mendapati pria itu, Hanan Adhiyaksa, masih duduk dengan mata terpejam, menyandar pada dinding putih.
Karena tidak tega pada kondisinya, Emilia mengguncang pelan tubuh yang nampak lelah itu. Hanya tepukan ringan di pipi, namun mampu membuat netra yang terpejam terbuka secara perlahan.
Hanan membenarkan posisi, meregangkan otot yang terasa pegal. "Lilia? Aku pikir kau pulang, ternyata masih disini." pungkasnya, masih dengan netra yang hampir tertutup kembali. Belum benar-benar terbuka.
"Ayah, aku membeli makanan. Ayah harus makan, jangan sampai tidak." Kata Emilia, ia duduk di samping Hanan lalu mengeluarkan bawaannya.
"Aku tidak lapar, Emilia."
Bagaimanapun, rasanya sungguh tidak enak untuk berselera makan dikala suasana sedang tidak baik-baik saja seperti ini. Emilia paham hal itu.
"Ibu akan marah jika ayah terkena maag lagi. Sedikit saja, ya?" Emilia berujar pelan, berusaha membujuk dengan menatap pria di hadapan.
Hanan tidak terbiasa, sungguh. Gadis itu sudah jarang bahkan hampir tidak pernah memberikan tatapan yang setulus itu sejak terakhir kali. Hanan seolah dibuat ingat kembali bagaimana rasanya ditatap seperti itu.
Hanan sumarah, ia menghembuskan napas berat. Lalu memasang senyum, menerima pemberian putrinya itu.
"Dokter memperbolehkan kita masuk, asal tidak berisik. Mau ke dalam?"
Emilia lantas menganggukkan kepalanya, tanpa menunggu Hanan ia lebih dulu membuka pintu. Melangkahkan kaki dengan tergesa, yang dibalas tawa kecil oleh sang ayah.
Hanan menghempaskan diri pada sofa yang ditemuinya di ruangan itu. Ia mengalihkan pandang pada sosok yang tengah terlelap, wajah ayunya nampak damai dengan nafas teratur. Kendati demikian, Hanan tahu tubuh lemah nya tengah menahan rasa sakit.
Lalu, ia memandang gadis yang menggenggam tangannya. Dan beralih lagi pada sebuah kotak nasi yang nampaknya satu paket dengan yang diberikan gadis itu padanya.
"Emilia, ibu akan marah jika kau ketahuan belum makan seharian. Mau itu terjadi, huh?"
Emilia mendengus, serasa diberi ancaman. Ia pun berbalik mengambil makanannya, berpindah tempat dari kursi di samping ranjang ke sofa, mengisi tempat kosong di samping Hanan.
"Aku berjanji tidak akan membuat ibu marah jika dia bangun sekarang..." Emilia bergumam, ia membuka kotak nasi tersebut. Memakan isinya dengan tenang walau hati rasanya sudah tak karuan.
Hanan tersenyum tipis, ia pun turut membuka kotak makanannya. Sedikit demi sedikit mengisi energi tubuh yang terkuras akibat berjaga dengan panik menguasai sepanjang hari ini.
Di sela-sela makannya, Hanan menoleh pada Emilia dan bertanya, "bagaimana sekolah mu? Aku dengar minggu depan adalah wisuda."
Emilia menggeleng, "kata siapa, yah? Minggu depan akan dilaksanakan ujian terakhir. Sekitar minggu ketiga bulan ini baru akan dilaksanakan wisuda. Kenapa tiba-tiba menanyakannya?" menatap ayahnya dengan raut bingung, Emilia menunggu jawabannya.
Hanan tersenyum, "bukan apa-apa. Hanya sedikit memikirkan langkah apa yang akan kau ambil nanti. Apakah kau akan melanjutkan pendidikan mu atau langsung bekerja."
Ia menyodorkan udang terakhir miliknya kepada Emilia. Maka langsung saja gadis itu melahapnya. Berhubung suka dan masih lapar, jadi tak apa, menurutnya.
"Walau aku bukan ayah kandungmu, aku ingin masa depan mu terjamin Lilia."
Emilia tertegun, gadis itu terdiam sesaat. Batinnya bersorak, hatinya luluh mendengar penuturan lembut penuh kasih dari pria itu.
Emilia tidak dapat berkata-kata saat tangan Hanan menarik tubuhnya ke dalam dekapan.
"Untuk terakhir kalinya, biarkan aku memelukmu seperti ini."
Terakhir kali, katanya? Batin Emilia menolak keras. Tidak terima ucapan sang ayah, ini terdengar begitu menyakitkan.
Emilia melingkarkan tangannya di tubuh pria itu, balas memeluknya. Membiarkan waktu berlalu begitu saja. Tanpa sadar sepasang mata tengah menatap sembari tersenyum hangat.
Hanan melepas dekap, ia meminta Emilia untuk tidur. Dengan kakinya sendiri sebagai bantal, dia membelai rambut gadis itu. Membuat netra yang berusaha terjaga perlahan tertutup. Bersama dengan munculnya dengkuran halus.
Hanan melirik jam, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pantas tubuhnya semakin lelah dirasa. Pria itu menghembuskan napas panjang. Ia memejamkan matanya, berusaha terlelap walau posisi membuatnya pegal, terasa tak nyaman.
Tapi bagaimanapun, Hanan telah bertindak. Untuk semalam bukan masalah. Ketimbang membangunkan gadis yang sedang berkelana di dunia mimpi, lebih baik menahan sakit karena salah posisi tidur.
"Itu baru yang namanya ayah dan anak. Sayang sekali, waktuku tidak sebanyak itu untuk melihat kebersamaan mereka."
TBC
hai lagi, aku minta maaf karena selalu gagal update/double update padahal udah ngatur jadwal.
biasanya aku baru bisa ngetik jam 8-10 malam.
karena itu jam bagus buatku ngetik cerita.
tapi, karena baterai habis akibat keasikan marathon Naruto-kun, jadilah gak jadi.sekali lagi maapkeun.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Itxaropena
AcakEmilia telah melihat bagaimana dunia itu berjalan. Baginya, dunia adalah tempat yang tidak akan memberinya ruang untuk bahagia. Namun saat keluarga sederhana itu mengadopsinya, ia mulai memandang dunia dengan cara yang berbeda. fanfiction. © 2O22, b...