Chapter Ten

20 7 0
                                    

Kata orang level tertinggi dalam mencintai itu adalah mendengar orang yang kita cintai bercerita tentang seorang yang sedang dicintainya, dan kini aku tahu bagaimana rasanya - Alena Adinata Diraja

🐻🐻🐻

Alena menutup kasar buku fisika miliknya. Menghirup dalam-dalam bau Penthikor yang menguar ke dalam indra penciuman. Ia melihat kembali chat yang masih centang satu, sejak semalam setalah Haniel mengantarkannya sampai depan rumah lelaki itu tiba-tiba saja hilang kabar. Membuat gadis berlesung pipi itu khawatir bukan main, dan berakhir memikirkan hal yang tidak-tidak.

Kemana lelaki itu pergi? padahal jarum panjang jam sudah hampir bertemungan angka delapan. Tapi Haniel masih belum sampai di sekolah,

Alena mengembuskan napasnya kasar, dia benci dirinya yang selalu overthinking terhadap hal sepele. Tapi bagaimana lagi? Tidak ada yang bisa menghentikan otaknya yang selalu berpikir dan berkecamuk memikirkan hal-hal yang kata orang hanya masalah sepele. Alena menggolekkan kepalanya di atas meja.

"Lena!"

Alena menyahuti panggilan itu dengan deheman singkat, "di panggil Pak Dewa suruh ke ruangannya," papar murid lelaki berkacamata, Dino namanya. Ketua kelas XII Mipa 3 yang pengertiannya minta di toleransi.

"Ngapain?" Dino mengedikkan bahunya tanda dia juga tidak mengetahui tentang itu.

Alena lagi-lagi menghela napasnya, kemudian bergerak bangkit dan berjalan dengan gontai menuju ruangan Pak Dewa. Ada keperluan apa coba guru muda itu memanggil dia ke ruangannya? Padahal jika dikorek lebih dalam Alena sama sekali tidak memiliki urusan dengan guru muda itu.

Jika masalah lomba atau perihal ujian-ujian dan lainnya dia selalu berurusan dengan Bu Veronica selaku guru pembimbingnya.

Dengan tenaga yang masih tersisa gadis itu mendorong pintu kaca yang menjadi penghalang antar ruangan. "Permisi Pak, bapak ada keperluan apa ya manggil saya?" tanya Alena tanpa berbasa-basi.

"Ah, ini saya mau minta tolong sama kamu, tolong fotocopy dokumen-dokumen ini bisa?" tanya guru itu sambil menepuk tumpukan kertas di atas mejanya, Alena menatap tumpukan kertas itu dengan pandangan tak percaya.

"Bapak manggil saya cuma mau minta tolong fotocopy ini?" Lelaki yang berusia 23 tahun itu mengangguk seakan itu adalah hal wajar, tapi bagi Alena ini sangat-sangat mengesalkan. Apa tidak ada murid yang mau menolong lelaki itu sampai-sampai harus dia yang menjadi korban?

"Kenapa bapak minta tolong ke saya? Kan murid lain bisa pak," protes Alena dengan nada sehalus mungkin, alis kanan Pak Dewa terangkat ke atas.

"Salah saya minta tolong sama murid sendiri? Ada aturan guru di larang minta tolong ke muridnya?" Alena jelas kalah telak jika berdebat dengan guru bahasa Indonesia itu.

Dengan niat setengah hati Alena mengambil tumpukan kertas itu dengan gerakan yang tidak santai, meninggalkan Pak Dewa yang tersenyum puas melihat Alena seperti itu.

Alena berjalan dengan terus bergerutu kesal, apa lelaki itu sedang balas dendam setelah cintanya ia tolak? Ah, iya, sedikit cerita jika beberapa Minggu yang lalu Alena memang benar-benar di tembak oleh guru muda itu. Di hari Kamis yang cerah pertengahan bulan September, guru beralis tebal itu tiba-tiba saja menghampiri Alena yang sedang berada di perpustakaan seorang diri. Menyatakan perasaannya secara tiba-tiba dan membuat Alena speechless. Karena merasa risih dengan pernyataan cinta yang begitu tiba-tiba Alena memutuskan untuk menolaknya dengan bahasa yang sopan dan santun, setelah itu pergi meninggalkan Pak Dewa dengan kegalauannya di perpustakaan.

WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang