Chapter Eleven

16 6 3
                                    

Kamu tau, apa yang lebih sakit daripada di putusin? Kamu tau, apa yang lebih melelahkan daripada lari seratus kilometer? Jawabannya adalah mengharapkan hal yang mustahil untuk kita gapai. Dimana kita bertingkah seperti orang bodoh yang terus-menerus mengharapkan bahwa kamu bisa menjadi milik aku, padahal aku sudah tau apa jawaban dari semua harapan ku. - Alena Adinata Diraja

🐻🐻🐻

Haniel tidak pernah tau jika selama ini Alena menyimpan perasaan lebih untuknya. Tidak pernah sadar jika perlakuannya bisa membuat Alena jatuh hati padanya. Entah siapa yang salah di sini, Haniel atau Alena yang sudah lancang menaruh perasaan pada Haniel.

Seharusnya dari awal Alena tidak boleh menaruh rasa lebih dari seorang teman pada Haniel. Mengharapkan sebuah hubungan yang lebih spesial dengan lelaki itu sama saja seperti mengharapkan kedua orang tuanya mendukung mimpinya, mustahil.

Berharap dan terus menunggu seperti orang bodoh yang kehilangan arah. Hingga semesta yang akhirnya menyadarkan nya bahwa harapan Alena hanya akan terus menjadi harapan. Kini apa yang harus gadis itu lakukan? Terus berharap atau berhenti? Jika dia berhenti apa bisa? Sedangkan mereka terus bersama.

Seperti ada belati tajam yang menusuk dada saat Haniel bicara jika dia sedang jatuh hati dengan seseorang, rasa sesak menjalar ke tubuh. Memaksakan untuk terus tersenyum meski hati terus di cabik-cabik saat Haniel menceritakan siapa gadis beruntung itu.

Langit yang gelap perlahan menurunkan hujan untuk menemani kesedihan Alena. Seakan-akan tak ingin Alena sedih seorang diri, hujan turun dengan intensitas yang sedang tanpa angin yang ribut dan tanpa gelegar guntur yang kadang membuat takut.

Di kamarnya yang remang Alena termenung, memikirkan banyak hal. Mungkin suasana ruang senyap dan sepi hanya suara rintik hujan yang terdengar,  tapi kepala dan pikiran Alena sangat berisik.

"Kayaknya gua jatuh cinta sama seseorang deh"

"Ceweknya cantik, matanya kayak nyokap, terus bibirnya tipis. Suaranya juga kedengaran bagus."

"Namanya Seyna, anak baru tapi gua nggak tau dia kelas berapa jurusan apa."

Suara Haniel yang sedang menceritakan sosok wanita yang dicintainya berdengung di telinga Alena, seakan-akan mendorong mundur paksa Alena. Menyadarkan Alena agar dia tidak melewati batas wajarnya.

"lo mau bantuin gua nggak? Comblangin gitu, mau ya? Ya? Ya? Nanti gua traktir makan pecel lele no kabur-kaburan deh."

Kalimat paling menyakitkan terakhir yang berdengung di telinganya. Sebuah kalimat paling menyakitkan bagi Alena bahkan lebih menyakitkan dari pada kalimat yang keluar dari mulut kedua orang tuanya. Lantas apa yang harus ia lakukan jika akhirnya begini?

Haniel memintanya agar bisa membuat lelaki yang dicintainya bersatu dengan gadis lain, apa Alena bisa? Apa Alena kuat melakukan itu? Alena menumpukan kepalanya pada kedua lutut, mencengkram kuat rambutnya berharap rasa sakit itu bisa menghilang dan pergi.

Alena memang gadis kejam dan kaku tapi hatinya tetaplah hati seorang perempuan yang lemah dan rapuh. Dalam hati bertanya pada Tuhan, apa dia tidak layak untuk mendapatkan kebahagiaan itu, apa Tuhan sedang berusaha menariknya agar sadar bahwa dia tidak akan bisa bersatu dengan Haniel. Tapi satu pertanyaan yang tidak pernah Alena temukan jawabannya, lantas mengapa Tuhan menghadirkan dia? Lalu mengapa Tuhan membiarkan rasa itu hadir? Jika Tuhan saja tidak mengijinkannya untuk bersama mengapa Tuhan membiarkan rasa itu hadir dengan begitu dalam.

WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang