25 | END

944 120 209
                                    

.

.

.

Butiran salju terus turun meski jarum jam telah menunjuk ke arah jam 2 siang. Langit yang tak begitu cerah seperti mendukung butiran salju turun layaknya rintik hujan.

Walaupun cuaca tak begitu bagus untuk berjalan-jalan, Junghwan tetap melangkahkan kakinya. Kakinya tak ingin berhenti berjalan menuju kedai. Meskipun di beberapa saat, ia meniup udara dari mulutnya sembari menggosok telapak tangan yang terbalut sarung.

Setelah berjalan cukup lama, akhirnya Junghwan tiba di halte bus tujuannya. Hanya ada seseorang dengan coat berwarna hitam sedang memandang lurus ke arah jalanan.

Semakin Junghwan dekat, semakin terlihat jelas siapa seseorang itu. Sampai akhirnya, langkah Junghwan terhenti karena matanya menangkap rupa orang tersebut bersamaan dengan otaknya yang mengingat.

Watanabe Haruto. Dia lah yang saat ini sedang duduk sendirian di bawah halte.

Pertanyaan sederhana timbul dibenak Junghwan.

Untuk apa Haruto yang ia kenal selalu diantar supir pribadi berada di halte bus ini ?

Kilasan masa lalu disaat dirinya masih berteman baik dengan Haruto tiba-tiba muncul. Junghwan diingatkan oleh kebiasaan Haruto disaat dirinya berada di dalam tekanan atau sedang bertengkar dengan keluarga-nya.

Haruto akan selalu menyendiri, melupakan fasilitas yang ia miliki dan lebih memilih untuk berjalan tanpa tujuan.

Mungkin saat ini adalah saat yang 'sama'.

Satu tahun lebih semenjak mereka tak lagi dekat, Junghwan merasakan suasana yang sangat canggung. Ini berbeda ketika ia marah pada Haruto yang bertindak semena-mena pada Junhee.

Ralat, tepatnya Kim Junkyu, si penipu ulung yang memanfaatkan orang-orang demi tujuannya.

"Tidak adakah niat untuk meminta maaf, So Junghwan?" Junghwan yang menatap ke arah jalanan dibuat menoleh saat suara baritone Haruto terdengar.

Sepasang mata mereka kembali bertemu pandang, dimana keduanya sama-sama menunjukan sorot mata tanpa adanya emosi.

Jangan lupa kalau keduanya patung berjalan—menurut Kim Junkyu. Sehingga tak heran bila interaksi mereka terlihat aneh untuk dikenal sebagai dua orang yang pernah berteman dekat.

"Maaf? Untuk apa?" balas Junghwan, tidak terdengar sama sekali ada niat di dirinya untuk memperbaiki pertemanannya yang telah rusak.

Apa yang harus diharapkan dari patung bernyawa seperti dirinya ?

"Kau... kau tidak sadar kau memiliki banyak dosa padaku?" Haruto mengarahkan jari telunjuknya ke arah lawan bicaranya.

"Lupakan. Otak-ku terlalu kacau sekarang. Anggap saja apa yang kukatakan hanya angin lalu," ucap Haruto.

Rasa iba sedikitnya tumbuh di hati Junghwan yang sekeras batu. Dibalik perkataan anehnya, Junghwan tahu Haruto sedang mencoba untuk menutupi kesedihannya. Andai dirinya memiliki kuasa untuk memvonis, Junghwan tak akan ragu mengatakan Haruto merasa kesepian.

Dan maksud dosa yang dikatakan oleh Haruto juga dipahami Junghwan. Sengaja ia membalasnya dengan pertanyaan, bermaksud agar anak tunggal keluarga Watanabe itu langsung ke inti pembicaraan.

Berbicara tentang dosa, sejujurnya Junghwan ingin menertawai Haruto. Ingatkah Haruto dengan semua perbuatannya pada Kim Junee? Bahkan pada Kim Junkyu yang hampir dilecehkan.

Mengingat yang terakhir, mendadak Junghwan merasa kesal. Tapi pada akhirnya Junghwan menepis perasaannya.

"Haruto," panggil Junghwan.

100 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang