14

1.8K 167 7
                                    

Menggeliat dalam tidurnya, tubuhnya yang sudah basah akan keringatnya yang bercucuran. Terlihat jelas bahwa lelaki ini tidak nyaman dalam tidur, seakan-akan tidurnya ada yang mengusiknya.

Menggeleng kepalanya dengan keras, wajahnya terlihat mengerang kesakitan. Tapi suara itu, suara sepatu high heels yang begitu nyaring beradu dengan lantai yang sangat dingin ini menggema di telinganya.

Suaranya semakin dekat, ia membenci ini.

“Sa-sakit, to-tolong jangan.. Jangan.. Jangan sentuh aku..” mengerang dalam kegelapan, pria itu menggeleng begitu keras seraya melindungi perutnya dengan kedua tangannya.

Bagaikan kaset yang rusak, bayangan itu terus menerus mengganggunya di malam hari. Lichan, lelaki yang sedang tertidur ini semakin terusik, kepalanya bergerak kesana-kemari, begitu resah.

Dengan menahan rasa sakitnya yang luar biasa, ia berlari dengan sekuat tenaganya yang hampir habis. Mengerang pelan saat ia merasakan nyeri yang teramat sakit, tanpa ia sadari darah kental sudah mengalir pada kakinya.

Ia terus bertahan untuk berlari, penglihatannya sudah kian memburam. Tanpa ia sadar dari kejauhan sorot cahaya lampu mobil menyorotnya, mobil itu melaju begitu kencang, sampai akhirnya…

Bruk!!

Lichan terbangun dari tidurnya, ia terduduk untuk mengatur nafasnya yang tidak beraturan sama sekali. Meringis pelan seraya memegang kepalanya yang berdenyut nyeri.

Mimpi itu.. Kembali datang padanya..

Mengganggunya setiap malam.

Bukan sekali dua kali ia bermimpi seperti ini. Sudah terlalu sering Lichan bermimpi seperti ini setiap malam. Ia akan selalu terbangun di tengah malam, dan merasakan sakit kepala yang berdenyut tiada henti. 

Ada apa? Kenapa mimpinya selalu sama?

Apa iya pernah mengalami masa sulit? Seperti penculikan atau semacamnya?

Tapi Jean berkata, ia tidak pernah mengalami hal semacam itu.

Lantas mimpi apa itu..

Dengan tubuh yang lemas, Lichan mengambil handphonenya di atas nakas untuk menghubungi Jean.

Saat ia hendak menekan tombol panggilan, ia kembali teringat akan kejadian yang sama akan menimpa dirinya beberapa hari yang lalu. Lichan juga sempat menelpon Jean menanyakan perihal ini, tapi sayang Jean tidak memberikan jawaban yang ia inginkan. 

Meletakkan handphonenya dengan asal, Lichan lantas bangun dari kasurnya dan berjalan ke kamar mandi.

Mungkin ia butuh menyegarkan wajahnya dan mengganti bajunya yang sudah basah akibat keringat.

Membuka bajunya, Lichan menyalakan kran air dan membasuh mukanya beberapa kali. Jarinya terurai menyentuh luka bekas operasi di perutnya yang katanya adalah usus buntu.

Aneh. Di dalam mimpinya pun yang Lichan ingat, laki-laki itu meringis kesakitan seraya memegang perutnya.

“Kenapa dengan perutnya…”

•••

Theo membuka pintu rumahnya dengan pelan. Rumahnya terlihat gelap karena semua lampu sudah dipadamkan. 

Kini jam sudah menunjukan pukul 01.24 dini pagi. Theo benar-benar bekerja keras, ia pulang jam segini bukan semata-mata karena keluyuran, karena ada sesuatu yang harus ia kerjakan.

Badannya hampir remuk, karena harus mendengarkan ocehan temannya yang sudah ia anggap saudaranya sendiri itu saat rapat tadi.

Berjalan dengan perlahan menaiki tangga, saat hendak menginjakan kakinya pada anak tangga. Lampu ruang tengah tiba-tiba menyala, membuat Theo yang tadinya menahan kantuknya tiba-tiba berubah menjadi terkejut dibuatnya.

Sunshine, Marknohyuck.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang