Sila tertawa senang, ia meloncat-loncat kegirangan ketika melihat kehebatan koki yang ada di dapur ini. Setelah bangun tidur, Laskar menyuruhnya ke dapur untuk makan, tidak biasanya, maid akan mengantar ke kamar. Kesempatan yang begitu ia suka.
Sila memegang wortel yang berukuran panjang, lalu menelisik menebak, apa ini. "Ck, ini apa ya? Aku pernah melihatnya tapi lupa namanya!" Gerutunya kesal sendiri.
Koki itu tertawa gemas. "Itu wortel, sehat untuk mata," katanya memberi tahu, wanita yang sudah berkepala tiga itu mengacak rambut Sila gemas.
"Gitu ya, aku juga ingin bisa memasak, Bu!" Kata Sila semangat. Ia mengedipkan-ngedipkan matanya memohon dengan wajah yang memelas.
Wanita itu terkekeh. "Selagi tuan mu itu belum turun, aku mengajarimu. Tapi kamu bawa buku masaknya di ruangan 5," jawabnya dengan berbisik. Ruangan rumah ini memang di angka, karna jika tidak seperti itu orang akan kebingungan, rumah ini sudah seperti labirin, sangat besar.
Sila mengangguk semangat. Ia berjalan sedikit berlari, bermohon pada Tuhan agar Laskar melupakannya yang masih berkeliaran di bawah.
Sila masuk ke ruangan 5 dimana isinya seperti ruang tamu. Sila terdiam, ia ragu. Ada lelaki yang sedang duduk dan membaca buku itu. Kenapasih, ko bukunya di simpan di ruangan ini?
Seperti sadar, lelaki itu menatap Sila, ia mengangkat alisnya bingung, sepertinya dia pernah melihat gadis ini. "Ngapain?"
Sila terpelonjak kaget, ia gugup. Lelaki di depannya, lelaki yang waktu itu tiba-tiba berada di kamar Laskar. "A-aku hanya mem-- ah, maksudnya ingin mengambil buku itu," kata Sila dengan takut. "Tapi sedang di pakai oleh kamu, jadi tidak apa-apa, maaf mengganggu."
Sila berjalan berbalik, tapi bahunya di tahan, sedikit kencang hingga mengeluarkan darah, luka yang kemarin di tusuk oleh Laskar membuka lagi, menimbulkan rasa sakit. "Awh!" Tanpa sadar Sila berbalik dan menepis tangan lelaki itu, Lorenzo.
Renzo mengerut alisnya bingung, ia menatap tangannya yang basah, baunya darah sedikit ada bekas merah. "Sorry, gue hanya mau ngasih buku ini. Lagian gue gada mau baca, hanya melihat gambar yang ada di sana." Dengan santai Lorenzo menyodorkan buku masak itu.
Sila menunduk menahan perih, ia menggigit bibir mengalihkan rasa sakitnya. "I-iya." Ia akan mengambil buku itu, tapi Renzo menariknya lagi. Sila sudah pasrah, memang temannya Laskar tidak ada yang waras.
"Sini gue obatin terlebih dahulu, gue tidak mau di bunuh Laskar karna menyakiti hewannya," kata Renzo lalu menuntun Sila duduk, ia menjauh mencari P3K.
Sila tercekat kaget, sejak kapan komplotan Laskar memiliki belas kasihan? Ia tau betul, luka seperti apa ini, ibarat hanya di gigit semut besar, tidak ada yang perlu di khawatirkan.
Renzo datang dengan menenteng kotak P3K. Ia duduk dengan santai dan mendekatkan badannya ke punggung Sila, sedikit merangkul. Renzo di belakan dan Sila di depan dengan posisi memiring.
Renzo membuka sedikit baju Sila, menampilkan bahu putih, tanpa cacat, sangat bersih. Ia mendekatkan wajahnya ke bahu yang terdapat luka hingga hembusan nafas miliknya terasa oleh Sila. Badan Sila panas dingin, ia deg-degan. Lalu tiba-tiba rasa dingin dari kapas terasa, sejuk dan perih, menghancurkan lamunan Sila.
"Perih banget ya?" Tanya Renzo dengan posisi yang masih sama. Sila hanya mengangguk, dengan Renzo yang mendekatkan wajahnya ke leher Sila. Hembusan nafasnya menjelajahi bahu hingga ke tengkuk. Lalu terasa sesuatu yang basah mengenai sisi luka di bahunya. Renzo menciumnya.
"Cepat sembuh," kata Renzo lalu tersenyum. Ia duduk menjauh dari Sila.
Sila memegang dadanya yang berdetak tak karuan, rasa panas yang di akibatkan berdekatan dengan Renzo kini sirna, tersisa rasa lega yang memeluknya. "M-makasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
ENERVATE
Teen Fiction17+ kebijakkan pembaca di sarankan. - Gadis ini dijadikan hewan peliharaan, disamakan dengan boneka, disiksa tanpa belaskasihan, diperlakukan jauh dari kata manusia. Sila, yang tidak tahu asal-usulnya dari mana, tidak tahu siapa dirinya, tidak tahu...