18. Bullshit

3.6K 173 193
                                    


-

Sudah masuk satu bulan, dan sekarang Sila sudah membuka mata dua hari yang lalu. Begitu pun, satu bulan itu, Laskar tidak pernah datang menjenguk gadis ini. Brengsek? Memang.

Viola membawa bubur yang ia beli di luar rumah sakit, karna Sila mengeluh merasakan bubur dari sini begitu hambar. Satu bulan itu Viola dan Zee menjaga Sila. Ya, walau sesekali karna Zee yang kadang mendapat mood Arkan yang seharian buruk, dan takut untuk berbicara meminta izin.

"Rasa lapar ini nyaris membunuhku." Arkan memegang perutnya dengan posisi rebahan di sopa, berniat mengode Viola yang hanya membeli 3 bubur.

Viola menatap Arkan sinis, liat lelaki songong, brengsek, bajingan, belangsak yang tidak tau malu itu. Lihat saja, Viola bisa membawa dirinya, Zee, dan Sila pergi dari para penjahat kelamin ini. "Bagus, gue harap lo mati."

"Sial, lo keren gue suka." Arkan bergumam pelan, gadis satu ini sungguh berani. Arkan menampilkan senyum licik, yang ia perlihatkan saat merasa tertantang. Senyum itu jarang terlihat.

Renzo menarik Arkan, sedikit merangkul karna melihat Sila seakan terganggu. "Sorry, dia kalau lapar emang rese."

Georgi yang sedari tadi memberi senyum yang sebagian orang takut melihatnya, termasuk Viola. Tapi bukan Viola namanya jika terlihat lemah dengan hanya sebuah smirk. "Temen lo satu lagi tuh, bawa ke rumah sakit jiwa. Tapi kayanya sulit untuk ditangani, masukin aja langsung ke peti mati," kata Viola santai, sangat santai.

Zee yang mendengar itu, mencubit Viola untuk diam. "Ola, jangan gitu. Kamu ngga takut mereka akan nyakitin kamu lagi?" Zee berbisik khawatir, pasalnya minggu kemarin Viola di tembak dibagian betis oleh Georgi karna berbicara yang membuat Georgi marah.

Viola mengingat semuanya pun, meringis pelan. Sekarang sakitnya terasa lagi. Gadis itu mengabaikan rasa sakitnya, ia menatap Sila yang sedang memakan bubur, sebenarnya sudah ditawari untuk disuapi, tapi Sila menolak dengan lembut.

"Masih pusing?" Entah apa rasanya, Viola benar-benar ada niatan untuk membawa Zee dan Sila pergi, ini bukan sebuah bualan. Tapi ia pun tak tau, hidupnya dipastikan tidak akan lama lagi. Hidup Viola bergantung pada mood para Mafia itu. Memang gila.

Sila menggeleng dengan senyum kecil, nyatanya itu masih sakit.

Perban putih melingkari kepalanya, rambut coklat tanpa poni tergerai, menutupi sebagian kening yang tertutup perban. Renzo yang sesari tadi memperhatikan menggigit bibirnya gemas.

Lelaki itu berdiri, membuat Arkan yang menyandar terjatuh hingga meringis. "Brengsek," umpatnya dengan nada terdengar dingin.

Renzo tersenyum manis, Sila yang melihat itu terpaku beberapa detik, kesadarannya seakan menghilang karna senyum yang Renzo perlihatkan. Demi apapun, lelaki itu jika tersenyum membuat siapa saja terpaku suka.

Renzo mengelus rambut Sila pelan. Ia menatap Viola saat merasa gadis itu menatap dingin, tatapannya menyorot tajam, menusuk hingga lelaki itu terkekeh pelan. Bagi Viola terdengar meledek. "Gue baru sadar, lo sama Sila mirip," ceplos Renzo sesuai kenyataan.

Sesaat semua orang terdiam. Begitu pun Georgi dan Arkan yang sedang tindih menindih di sopa.

Zee mendengar itu menatap Viola, lalu Sila. "Benar, kalian mirip." Zee menyengir lucu, memperlihatkan giginya yang putih.

ENERVATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang