21. Skin to skin

4.1K 146 22
                                    

"Aku suka tangisan langit, hanya saja aku benci gemuruh yang memanggil seakan menahan sakit."

-

21. Skin to skin.

Lorenzo menggoyang-goyangkan gelasnya bosan. Dia melirik kearah Laskar yang tengah berkutat dengan hp-nya. Entah apa yang lelaki itu lihat. Lorenzo menghela nafas pelan.

Laskar mengangkat alisnya, balik menatap Lorenzo seakan bertanya, "apa lo?"

Lorenzo mengalihkan atensinya, memperhatikan gelas berisi alkohol yang dia goyang-goyangkan. "Gimana jika suatu saat nanti gue khianatin lo?" Lelaki itu bertanya pelan namun penuh makna.

Arkan dan Georgi yang sedang nobar film biru langsung terdiam, begitu pun Laskar yang langsung menatap Lorenzo dengan tatapan sulit ditebak.

"Lo ... oke, Ren?" Tanya Arkan menatap Lorenzo dalam.

Lelaki yang ditanya itu hanya diam. Dia menipiskan bibirnya, lalu menatap Laskar seakan minta jawaban. Tiba-tiba di sini terasa dingin, terasa tegang, dan begitu asing saat mendengar lontaran Lorenzo. Mereka begitu rumit, sulit untuk di pahami. 4 sahabat yang selalu bersama selama 14 Tahun, nyatanya tidak berarti untuk mereka, hingga sulit untuk saling percaya.

Semua begitu abu-abu. Lalu mereka hanya mengambil jalan di tengah, di mana percaya dan tidak percaya.

"Percaya pada lo, itu urusan gue." Sekian lama diam, Laskar hanya mengeluarkan itu. Terlalu bingung untuk berbicara.

Georgi tersenyum tipis. Apapun yang akan terjadi suatu saat nanti, ingatkan padanya untuk merekam semua, dan memperlihatkan pada Lorenzo yang menyukai kekerasan apalagi jika temannya yang melakukan. Keren bukan, jika Lorenzo melihatnya? Setelah menjadi pelaku, dan setelah itu menjadi penonton.

Arkan yang melihat tatapan setan dari Georgi, langsung menutup mata lelaki itu dan tertawa, mengabaikan suasana yang menegangkan. Dibawah kendali alkohol, Arkan mencium kening cowok itu lembut.

Georgi menggertakan giginya marah. "Lucu lo begitu?!"

Arkan lagi-lagi terkekeh khasnya. "Satu sama," bisiknya sensual.

Laskar memegang sisi lengannya yang berotot, dingin. Dirinya hanya menggunakan baju tanpa lengan yang terlihat tipis dan mencetak badannya yang atletis.

Di sini tiba-tiba terasa begitu dingin. Perlahan namun pasti, gemuruh parau terdengar dari langit. Awan hitam menutup bulan yang bersinar terang, mengusir bintang yang menari-nari ceria. Ia suka tangisan langit, hanya saja ia benci gemuruh yang memanggil parau seakan menahan sakit.

Rasa dingin itu menjadi-jadi saat rintikan air jatuh menghantam bumi. Terasa menyejukan, tapi membunuhnya perlahan-lahan.

"Lo, dingin?"

"Gue manusia," jawab Laskar cepat, sangat tajam tapi membingungkan.

Lorenzo menipiskan bibirnya. Dia menarik Laskar pergi, berniat membawanya pulang. Arkan dan Georgi menatap kepergian Lorenzo dan Laskar tanpa berkedip, lupa cara untuk bernafas. Aneh.

"Mereka berdua, ngga mabuk 'kan?"

Georgi yang terbawa suasana freak ini mengangguk samar. "Semoga saja mereka tidak mati, karna menghantam mobil lain."

Arkan melotot. Dia langsung menarik Georgi keluar dari bar ini. Sial, Georgi berbicara tanpa nada khawatir, seperti tak peduli. Bagaimana jika kenyataan? Cita-citanya yang ingin mati terlebih dahulu sebelum sahabatnya, akan hancur.

Lorenzo membawa Laskar masuk ke mobilnya, dan membiarkan mobil Laskar terparkir cantik di depan bar. Lorenzo memijit pangkal hidungnya pusing, Laskar di pinggirnya sudah terlihat begitu pucat, menahan dingin yang menusuk-nusuk. Di depan supirnya sedang mengemudi, lambat, bagaimana jika Laskar mati?

ENERVATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang