tonight the world is ours

268 31 0
                                    

"Taeyong, cepat matikan lampunya!" teriak Yuta tak sabaran. Pasalnya dia ingin cepat-cepat melihat langit malam yang selalu ia impikan sejak kecil—langit malam yang dipenuhi tumpahan susu dan permata yang berkilauan.

Yuta sudah bersiap sejak sepuluh menit lalu, menggelar tikar di halaman depan penginapan. Menggigil sendirian selagi menunggu Taeyong melegakan sakit perutnya. Dinginnya malam itu tidak cukup dingin untuk menyurutkan keinginan Yuta si keras kepala melihat galaksi. Taeyong tidak punya pilihan selain menurutinya. Tidak lucu kalau dia ditinggal kekasihnya mati kedinginan karena tidak ada yang mengingatkan untuk masuk ke dalam. Lagi pula dia tidak akan membiarkan Yuta di luar sendirian malam-malam di negeri orang. Siapa tahu ada monster lokal yang tidak ia ketahui suka menculik orang, terutama perawan. Bahaya.

Lampu rumah penginapan semuanya sudah dimatikan. Tersisa langit sebagai satu-satunya penerangan. Yuta berbaring telentang di atas tikar dengan mata terpejam. Membiasakan indranya dalam kegelapan agar lebih peka terhadap cahaya lemah. Beberapa saat kemudian, ia membuka mata. Rentetan kata 'wah' terus keluar dari mulutnya tak tertolong. Bagaimana tidak? Pemandangan yang biasanya hanya dilihat melalui layar kini terpampang nyata di depan matanya. Lebih dari sekadar jepretan lensa, yang didepannya ini tidak dapat digambarkan dengan kata-kata.

Adalah kebenaran bahwa Semesta itu seniman terhebat. Bagaimana Ia menumpahkan susu di langit dan menaburkan putih di langit bisa menghasilkan galaksi dengan miliaran bintang yang menyinari malam hari penghuni bumi—dan barangkali penghuni planet lain.

Pemandangan itu mampu membuat Yuta tidak berpaling sedikit pun. Kedatangan Taeyong datang membawa dua selimut tebal agar tidak kedinginan juga tak ia hiraukan. Pria yang tiga bulan lebih tua itu berbaring di samping Yuta setelah memakaikan selimut pada keduanya sebatas bahu.

Taeyong merasa perlu berbesar hati. Dia memilih tempat liburan yang tepat di waktu yang tepat juga. Selandia Baru di bawah pegunungan untuk kekasihnya yang suka naik gunung. Di pertengahan tahun ketika piringan galaksi bagian dalam dapat terlihat jelas dengan mata telanjang (asalkan udara bersih dari polusi udara dan cahaya). Rumah sewa tempat mereka menginap pun sepertinya memang ditargetkan untuk pasangan berbulan madu. Tidak ada rumah lain di sekitarnya. Hanya rumah itu. Hanya mereka.

Embusan angin menjadi satu-satunya yang masuk ke pendengaran. Memberi waktu kepada mereka menikmati karya Semesta. Namun tak menghindarkan keduanya berpegangan tangan di balik selimut, mengisi ruang kehangatan satu sama lain.

"Kamu suka?" Retoris. Taeyong tentu tahu jawabannya. Tanpa melihat pun Taeyong yakin Yuta tak mengedipkan mata sejak tadi.

Yuta mengangguk. Kemudian menyadari bahwa terlalu gelap untuk bisa melihat anggukannya. Dia pun menjawab, "Ya!"

"Tapi aku masih tidak percaya itu semua benar-benar nyata," ia mengeratkan genggamannya, mengambil beberapa napas sebelum akhirnya melanjutkan, "Terima kasih sudah membawaku ke sini."

Senyum mengembang di wajah Taeyong meski tak terlihat. Ia mengubah posisi menyamping menghadap kekasihnya, lengan kanannya menyelinap di bawah kepala Yuta untuk dijadikan bantal. Objek tatapannya berubah, menjadi sesuatu yang di matanya terlihat paling cantik. Memang benar, Semesta adalah seniman terhebat. Ia pasti sedang dalam suasana hati yang sangat bagus saat menciptakan seseorang di depannya.

"Lihat bintangnya," ujar Yuta ketika menyadari Taeyong terus menatap ke arahnya. Tidak, bukan Yuta malu terus ditatap seperti itu, dia sudah terbiasa-atau setidaknya mencoba agar terbiasa. Hanya saja baginya Taeyong terlalu menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati pemandangan yang tidak bisa dilihat di langit Seoul.

"Aku sedang melihat bintang sekarang."

Bola matanya bergulir ke samping kiri, mengintip dari sudut mata. Terlalu gelap untuk bisa melihat wajah satu sama lain. Namun Yuta seratus persen yakin Taeyong memasang senyum bodohnya sekarang. Dan terima kasih untuk pujian itu yang telah membuat wajahnya sedikit menghangat. "Tidak salah, sih. Kita terbuat dari bintang."





Written In The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang