biru merah

161 20 6
                                    

Duk!

Tendangan ketiga, barulah minuman dingin berkaleng biru keluar dari mesin penjual otomatis. Bodo amat mesinnya rusak, batinku, uangku yang ditelan mesin ini jauh lebih penting dan aku haus. Setelah mengambilnya, aku mencari tempat duduk di pinggir lapangan bola.

Tempat duduk favoritku ada di bawah pohon ceri yang sekarang sudah hijau. Bulan april kemarin warna merah jambu, banyak bunga sakura mekar. Aku sempat bolos pelajaran Bahasa Inggris cuma buat tidur siang di bawah pohon itu. Dari pada belajar bahasanya, mending sekalian ke negaranya, di dalam mimpi. Begitu aku membela diri waktu guru Bahasa Inggris mendatangiku setelah pelajaran usai. Setelahnya aku cuma digaplok pakai buku paket.

Menikmati minuman dingin di bawah terik matahari musim panas sambil melihat anak lain mengoper bola di lapangan. Aku bagian dari mereka beberapa menit lalu. Tapi capek, tadi pagi belum sarapan. Apalagi harus menyimpan energi untuk menghadapi ujian Matematika setelah istirahat nanti.

Sedang enak-enak merasakan angin menerpa tubuhku yang berkeringat, seseorang duduk di depanku tanpa izin.

Dia namanya... sumpah, aku lebih mending mengumpat seumur hidup dari pada menyebutkan namanya, jadi sebut saja Oknum T. Orang itu menyandang predikat 'orang yang paling kubenci sejagat raya'.

Bukan tanpa alasan aku membencinya. Ketika awal masuk sekolah, banyak yang bilang 'kamu agak mirip sama T***ong kelas sebelah, kembaran, ya?' atau pernah aku tidak sengaja mendengar dalam perjalanan menuju kantin 'Itu loh, yang namanya Yuta. Mirip sama T***ong, kan?'. Diiyakan oleh temannya. Sialan.

Sisi bagusnya, aku jadi terkenal.

Oke, pertama aku tidak tahu apalagi kenal dengan orang bernama 'T***ong' itu—namanya mirip sayur ungu. Emangnya seganteng apa sih orang itu sampai dimirip-miripkan denganku? Mereka aja yang kurang makan wortel. Kemudian pertama kali bertemu, aku membatin dengan percaya diri, 'Nggak mirip, kok. Masih jauh lebih ganteng aku. Dia mah kayak ingus godzilla'.

Saat itu, aku belum benci, hanya sedikit kesal karena sering dimirip-miripkan. Sedikit, ya. Tapi suatu hari dia mendekatiku saat makan siang di kantin. Entah karena siang itu kantin sangat ramai sehingga tidak ada tempat duduk tersisa, atau dia sengaja untuk menjahiliku. Sepanjang aku makan, dia terus memandangiku—bukannya aku kege-eran, tapi jelas sekali. Menyungging senyuman seperti boneka annabelle. Menonton film nya saja aku parno sampai seminggu, apalagi melihatnya langsung?!

Yang paling seram itu ketika tidak ada badai, tidak ada tsunami, tidak ada asteroid menabrak bumi, dia bilang, 'kamu lucu'.

Aku keselek bakso utuh yang belum sempat dikunyah. Untungnya bakso yang kecil. Setelah baso keluar dari tenggorokan dan minum es jeruk segar, langsung saja kumarahi dia, "Kalau ngomong otaknya agak dipake sedikit, dong! Untung aku nggak mati!"

Tanpa sadar aku bicara pakai nada tinggi, mengundang atensi orang-orang yang juga sedang di sana. Aku reflek menunduk. Malu juga ternyata diliatin orang-orang. Tapi ya bagaimana lagi, aku perlu marah.

"Sok tau," sahutnya, "Aku bukan lagi ngomong ke kamu, kok."

Menengok kanan kiri, mecari tahu siapa yang dia maksud. Tapi waktu itu aku ke kantin sendiri, kanan-kiriku kosong. Apalagi aku duduk di pojok, belakangku tembok. Mendadak aku merinding. Orang ini naksir tembok!

Untuk kejadian itu, aku parno sampai sekarang. Satu setengah tahun lebih tepatnya. Hampir setiap hari—kecuali hari libur dan ketika dia ikut lomba, anaknya cukup pintar—dia mengatakan atau melakukan hal-hal yang membuatku mencari daftar makanan penurun tekanan darah setelahnya. Aku lebih milih kena hipertensi karena kolesterol daripada harus menghadapi Oknum T.

Pengen, pengeeeeeen banget rasanya andai aku tidak punya rasa perikehewanan, mau kucabut semua helai rambutnya satu per satu setiap kali dia bertindak menyebalkan. Seandainya bisa, sekarang pasti kepalanya kinclong. Gundul.


Loh? Bentar....


Ini kenapa jadi ngomongin dia?!



"Ngapain ke sini?" ketusku. Mataku memicing agar terlihat galak, melemparkan pandangan tak suka atas kehadiran cowok berseragam sama di depanku.

"Nggak boleh? Emang ini sekolah punya bapakmu?"

Ya, betul. Bangku itu milik sekolah dan ini bukan sekolahnya bapakku—bapakku arsitek. Siapa pun boleh duduk di situ. Tapi kalau itu Oknum T, apa lagi tepat di depan wajahku, aku tidak rela. Aku tidak menjawab, cuma bergumam 'pergi sana'. Namun seolah aku tidak mengancam apa-apa, dia dengan santainya mengangkat minuman kaleng berwarna merah, menenggaknya sampai habis, lalu meletakkan kalengnya tepat di samping kaleng biru punyaku.

"Yang merah lebih enak," ujarnya.

Aku menatap warna kontras kedua kaleng itu bergantian. Biru dan merah. Oh, mau ngajak debat rupanya.

"Pendapatmu nggak penting."

"Jelas penting," orang itu menopang dagu menggunakan kedua tangan yang saling dikaitkan jemarinya, wajahnya membuat ekspresi—sok—serius yang membuatku mual, "Ini demi keselamatan dan kesejahteraan umat manusia."

Aku mendecih. Orang ini kalau sudah membual tingkat ngeselinnya naik 1000%.

"Nggak perlu repot-repot mikirin manusia. Kamu kan bukan manusia."

"Loh? Bener juga, ya. Kamu bikin aku kepikiran...," dia mengelus dagunya yg belum tumbuh jenggot, "...jangan-jangan aku ini malaikat."

Andai saja aku punya cukup keberanian mencolok matanya pakai sunduk telur gulung. Sayangnya aku pengecut, belum berani bertindak sejauh itu. Takut dipenjara. Nanti tidak bisa jajan cilung depan sd favoritku.

Tak!

Sebagai satu-satunya senjata, kaleng biruku melayang. Harusnya mengenai ujung hidung Oknum T kalau dia tidak menghindar.

"Malaikat dapurmu! Mumpung aku masih sabar, mending kamu pergi!" Masa bodoh itu sekolah bapaknya atau bapakku atau bapak siapa pun itu. Berhadapan dengan Oknum T tidak bagus untuk kesehataan. Aku emosi.

"Nggak mau."

"Kamu nggak tau, ya? Tendanganku cukup banget bikin batok kelapamu pecah."

"Tapi aku nggak punya batok kelapa."

"Kel-kepala maksudku!"

"Ooh, kepala. Kepala apa? Kepala pundak lutut kaki?"

Antara level satu sampai sepuluh, emosiku sudah level seratus.

"Serius, kamu mau tangan," aku mengangkat kedua tangan yang dikepalkan, "atau kaki?"

"Bibir aja gimana?" Dia menggerakkan alis naik turun. Jijik. Kayak om-om perut buncit kumis lancip.

Hmch. Sabar... Orang sabar disayang Jaehyun.

Kali ini aku mau jadi orang baik. Aku turuti permintaannya. "Oke, tapi tutup mata dulu."

Dia menutup mata sesuai instruksiku, bibirnya dimanyunin lima parsek. Om-om pedofil yang gampang diculik anak kecil, gampang banget ditipu. Buat aku menguntungkan, sih. Jadi tidak perlu berpikir banyak buat balas dendam.

Pelan-pelan. Makin dekat. Sampai akhirnya bibirnya nempel sama bibir...

... sepatuku.

Ya kali aku cium dia beneran?!

Itu pun masih beruntung banget. Sekali lagi, kalau aku nggak punya rasa perikehewanan, mungkin udah aku ciumin ke telapak sepatunya. Sepatu yang aku pakai entah sudah menginjak apa saja. Belum kucuci sebulan. Tadi pagi aku lihat cicak di dalam sepatuku, pingsan.

Habis itu aku langsung kabur sambil mampusin dia.

Puas banget. :D

Written In The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang