(mode : old home)
Jam makan siang sudah dimulai. Ibu memanggilku untuk datang ke meja makan. Aku mematikan tv dan sekalian mengajak tone. dia salah satu teman masa kecilku.
Bapak bekerja dan adikku rein masih disekolah.
Jadilah kami bertiga makan menikmati makan siang masakan ibu.
Aku berhadapan dengan tone. Dan ibu dipojokan meja.
Menu terhidang ada ikan gembung disambal tauco pakai potongan cabe hijau. Salah satu makanan favoritku dan yg nomor satu. Apalagi ibu yg masak. Benar benar air liurku bergerak menelusuri tenggorokan.
Melihatnya saja aku sudah membayangkan enaknya jika bermain di dalam mulutku.
Ada sayur daun ubi. Abaikan itu aku tidak begitu suka.
Nasi hangat sudah terciduk. Selepas membaca doa. Aku pun menikmati makan siang.
Tone terlihat lebih suka sayur daun ubi. Apakah dia menjadi vegetarian karena masakan ibuku.
Satu porsi sudah habis. Aku menambah. Tone sudah selesai. Mungkin dia tak enak hati mau menambah.
Satu porsi lagi sudah habis. Aku menambah.
Lalu habis dan aku ingin menambah lagi. Total sudah 6 ekor ikan akan habiskan
Tone meraih tanganku hendak menciduk nasi.
"Kenapa harus menghabiskan waktu untuk kepuasan tersendiri. Ini bisa di sebut congok (rakus)"
Aku sedikit tersinggung karena jiwa egoisku bangkit.
Tone mengutip semua lauk dan menggesernya kedepan ibu.
"Udah wak . Abis nanti lauknya disikat dia"
Aku menghempas sendok pelan. Kesal bukan karena ini adalah masakan ibuku. Tapi kesal karena ingatlah ada bapak dan rein yg belum menikmati.
"Ok sori. Aku suka kalap kalau menikmati masakan mamakku."
Tone terkekeh dengan ciri khas gigi berlapis nya.
"Hampir saja kau ku ruqyah" ujarnya.
Sejak dia merantau keluar kota mengadu nasib. Lama jadinya tidak ketemu tone. Tapi sebuah persahabatan itu tidak pernah luntur tata caranya.
Kabar yg kudengar baik dari sosmed juga. Tone memiliki kelebihan. Aku juga berpikir sejak kapankah. Sepertinya dulu waktu akrab berteman dia biasa saja. Gak ada yg janggal.
Aku pernah mengetikkan pesan dengannya. Sejak kapan kau jadi dukun. Tidak ada jawaban detail darinya . Hanya kejelasan dia kalau yg maha esa membukakan mata batinnya.
Pernah juga tetangga nya aku dengar berkata. Dia memiliki penjaga turunan dari neneknya yg sudah meninggal.
Ntahlah. Aku tidak percaya gitu saja sebelum ada pernyataan dari tone sendiri.
Tone bisa mengobati orang yg sakit. Memijat juga untuk kesembuhan. Biasanya dia akan memakainya selendang di lehernya saat sedang beraksi.
#Tone mengajakku kembali kedepan untuk menonton tv. Tapi baru saja tv dinyalakan suara berisik dari pemuda setempat riuh sekali. Mereka sedang bernyanyi tapi dengan cara teriak teriak tidak bernada sama sekali.
Aku melirik di kejauhan di simpang dekat rumah pak Mul mereka berkumpul.
Sudah bisa kutebak kalau mereka minum tuak. Dan itu sudah berada dalam kondisi on.
Ada terlihat Rush disitu. Dia sudah cukup berumur tapi belum menikah juga. Kehidupan dikampung tenyata cukup dark. Aksi yg biasa mereka lakukan ya memanen kebun yg bukan milik mereka.
Lalu uangnya buat berkumpul menikmati mabok kampung tak seberapa yg penting happy.
Menurutku itu happy yg tidak terarah.
Tone sedikit gusar dengan suara berisik itu disiang hari.
"Biar kudatangi mereka. Gak ada otak memang mengganggu tetangga".
Sebelah rumah kopel pak Mul memang lagi kosong. Aku sudah hapal betul tabiat mereka. Setiap ada rumah kopel yg kosong pasti dijadikan tempat buat maen judi ataupun mabuk. Tanpa ada kepedulian bahwa kopel sebelahnya masih ada orang lain yg menempati.
"Ga usah. Jgn cari masalah. Biar saja kepala lorong yg bertindak. "Ujarku sambil meraih remot tv.
Tone menggerutu.
"Apa mereka gak sadar sama umur. Kukira udah berubah selama aku gak dikampung.Aku menghempaskan nafas yg tertahan.
" Kepribadian orang sulit untuk dirubah tone. Kecuali dari akal sehat dia sendiri". Jawabku sambil menyalakan tv.
#