Ada masa dimana aku sangat rindu dengan kampung halaman.
Terkadang aku mencoba untuk mengambil kesempatan disaat sebuah panggilan itu datang.
Tetapi semuanya sudah ada yg mengatur. Ibarat kata ingin korupsi tetapi sudah di monitor oleh data yg terkirim.Saat ini aku sudah melayang tinggi ke udara. Hal sebenarnya tidak aku suka karena aku tinggi yang takut ketinggian.
Apa yang sebaiknya aku pilih?
Maksud hati sebaiknya aku turun di Sumut . Ya kampung halamanku.
Terpikirkan walaupun jatuhnya dimana setidaknya aku merasa dekat dan bisa menjangkau dimana lokasi kampung ku.Satu tarikan magnet membuatku meluncur bebas.
Itulah detik dimana aku merasakan darahku bergetar.
Sudah tak terhitung berapa kali hal yg memacu andrenalin seperti meluncur bebas tetapi tetap saja rasa takut akan ketinggian ku tidak pernah hilang. Hanya berkurang ketika hendak mendarat.Aku tepat jatuh diatas sebuah kapal. Kapal tidak bergerak kemungkinan sedang berlabuh.
Situasi sepi seperti tidak ada kehidupan. View keabuan membuatku bingung sendiri. Apakah ini hal yg baru apa aku nyasar kedimensi waktu yg lama.
Aku beranjak menjauhi kapal sampai pada sebuah deretan rumah gubuk. Ada beberapa orang aku lihat melintas membawa barang barang untuk kehidupan didesa.
Aku bertanya tanya sendiri didalam hati. Apakah ini masa lalu. Karena aku tidak melihat apa yg modern disini. Sepertinya tiang listrik menjadi contoh kecil.
Tanah disini juga sedikit lembab. Aku berpikir positif mungkin ini sehabis hujan.
Bodoh sekali aku tidak bertanya. Dimana ini . Apakah aku disumut. Atau di area Laen.
Beberapa orang melintas melihatku seksama. Lalu lanjut memikul barang bawaannya.
Mereka lebih penting melanjutkan kehidupan. Daripada mengurusi sesuatu yg asing.
Disatu kesempatan aku bertanya pada seorang ibu muda.
" Maaf bolehkah aku tau ini tempat apa. "
"Ini Ponorogo"
Hmm harapanku gagal untuk mendarat di Sumut.
Aku ingin bertanya lagi. Apakah nama tempat atau khusus nama desa ini. Tetapi ibu muda itu sibuk mengurus anaknya. Jadi aku mengurungkan niat. Dan lagipula aku orang yg enggan mengeluarkan suara terlalu banyak.
Desa yg cukup kecil. Sebentar berjalan lurus mengikuti jalan setapak aku sudah sampai pada perbatasan.
Sudut mataku menangkap seorang pria yg ku perkirakan usianya tidak jauh beda. Kemungkinan 28 tahun.
Dia sedang membawa plastik besar dan menjadi pemulung di tempat sampah.
Aku mendekatinya bermaksud menanyakan jalan selanjutnya.
Dia berhenti . Melihat dari atas sampai bawah.
Dengan seenaknya menggandeng tanganku menjauhi tempat itu.
Dia membawa terus ke sebuah jalan setapak menjauhi desa. Banyak kerapatan semak. Sambil menggumam.
Aku mengetahuimu ikutlah ada yg ingin kusampaikan.
Aku menarik tanganku karena aku merasa bisa berjalan sendiri. Tidak perlu dituntun. Dia menghela napas sejenak.
Sampai pada sebuah rumah usang. Banyak semak pada halamannya.
"Jadi bagaimana kau sampai kemari. "
Aku menunjuk kearah semak.
Dia tersenyum miring.