Bab 11: Kegalauan

235 72 16
                                    

Malam minggu sendirian di dalam kamar kos adalah takdir yang belum bisa Tifa lepaskan dari dirinya. Kejonesan yang hakiki masih tersemat di jidatnya, yang malah membuat kaum laki-laki malah semakin menjauh dari gadis berkacamata itu. Dia tidak habis pikir, apakah wajah tegas turunan dari ayahnya yang menyebabkan ketidak beruntungan ini? Atau karena sifatnya yang blak-blakan dan tidak feminim yang membuat semua pria kabur darinya?

Tidak. Mereka tidak kabur, lebih tepatnya mereka menganggap Tifa adalah lelaki berwujud perempuan. Sehingga mereka memperlakukannya seperti teman 'biasa' dan bukannya teman 'sepermainan'. Menyebalkan.

Rambut hitam yang sedari tadi diikat satu seharian, dia lepaskan dari belenggu karet rambut yang ketat nan lentur. Gelombang lautan hitam mengkilat berjatuhan dari ujung kepala Tifa. Sisir bergigi rapat yang tergeletak di atas nakas dia raih dan mulai menyisir dengan telaten. Setelah dua puluh menit lamanya menata kembali rambutnya, gadis itu mengambil bando yang memiliki telinga kucing dan memasangnya agar poni panjangnya tidak menggangu pandangan.

Gadis itu melihat pantulan dirinya di cermin, mananya yang bukan cewek?

Apa matanya terlalu besar? Apa hidung peseknya sudah seperti milik Voldemort? Atau pipinya yang cabi malah terlihat seperti Boboho dari film Shaolin yang biasa dia tonton semasa kecil?

Dia masih tidak mengerti mengapa tidak ada pria yang memperlakukannya sebagaimana mestinya. Dia sebenarnya tidak mau mengakuinya, namun inilah kenyataan yang dia dapat sehari-hari.

Kakak Tifa yang terkenal sebagai primadona di kantornya sangatlah dipuja oleh teman prianya. Bagaimana tidak, tubuh bak Luna Maya dan rambut bergelombang tebal ala Anggun akan membuat siapa pun akan terpaku dengan pesonanya.

Seratus delapan puluh berbeda dari adiknya.

Lalu ada Eni, anggota Pharma.con yang paling mapan. Dia seorang ibu yang perkasa. Bekerja sambil mengurus dua anak dan suami yang macho. Kalau mereka sekeluarga pergi jalan-jalan, setidaknya di kompleks mereka saja, Eni yang berbalutkan baju daster murahan yang sering ada di pasar luwak juga tetap menarik pesona suami-suami yang sudah punya istri sampai dia kadang sering mendapat pandangan dingin dari tetangganya. Dia punya penapilan yang bisa menjadi pelakor, untung saja Eni tidak akan melakukan hal semenjijikan itu karena dia sudah bersyukur dengan keluarga kecilnya.

Tifa sudah beberapa kali tidak memahami dengan perasaan yang dia miliki. Dia benci dengan sikap Aris, namun di satu sisi dia juga menyukai kejujurannya. Apalagi dengan rasa kesepian yang sering dia tunjukkan, Tifa ingin sekali menemaninya. Mencoba untuk memahami perasannya. Apalagi ketika mengetahui masa lalunya.

Gadis berambut panjang itu menggelengkan kepala. Menolak segala pemekiran yang sempat hinggap dalam kepalanya. Dia tidak punya hak untuk ikut campur dalam urusan privasi seseorang. Apalagi dengan Aris--Tifa semakin bingung. Dia tidak tahu langkah yang benar untuk menghadapi pria sedingin dia.

Suara rintik hujan yang beradu dengan atap terdengar keras dari luar. Hujan deras. Tifa beranjak dari kasurnya untuk membuat makanan instan langsung menangkap suara ketukan di pintu kamarnya. Tanpa berpikir panjang, dia membuka pintu dan mendapati seorang gadis asing yang sedang menutup payungnya yang basah.

"Kamu Tifa, kan?"

"Ya ... ada apa?" Tifa menjawab dengan pertanyaan pula. Dia tidak mengenal gadis itu.

"Aku Vina, klien Aris. Atau ... bisa dibilang kalian."

Mata Tifa membelalak. "Ohhh ... maaf, aku belum pernah bertemu sebelumnya." Dia tertawa canggung, padahal Aris sudah sering memperlihatkan foto Vina namun Tifa suka lupa dengan seseorang jika dia jarang bertemu dengan orang tersebut. "Silakan, masuk dulu. Lagi hujan juga."

Tifa membuka pintu kamarnya lebar-lebar, menunjukkan seisi kamar yang berisi perabotan ala kadarnya.

Tifa sebelumnya belum pernah bertatap muka secara langsung dengan Vina. Gadis itu menawan dengan blouse jumbo bergaris-garis yang dipadukan dengan celana kain abu-abu. Rambut ikalnya sebahunya melengkapi penampilan kuliah yang tetap memancarkan aura trendi dan memanjakan mata.

Sangat berbeda dengan penampilan Tifa sehari-harinya. Gadis berkacamata itu lebih nyaman mengenakan kemeja berkerah dengan motif seribu umat dan celana kain atau rok polos yang membosankan. Tifa memandang lama Vina yang duduk meleseh di dekat pintu. Mungkin alasan dia tidak banyak dilirik kaum pria adalah penampilan. Dia harus mencoba untuk mengubahnya.

Vina yang menyadari tatapan penuh selidik dari Tifa merasa tidak nyaman. Dia menyalah artikan perlakuan tersebut. "M-maafkan aku yang mengganggu waktu istirahatmu. Mungkin kamu bingung kenapa aku bisa tahu tempat tinggalmu, tapi aku bersumpah, aku tidak bermaksud macam-macam padamu. Aku cuman ...." Vina sulit untuk melanjutkan ucapannya. Dia gugup.

"Ah, tidak apa-apa, kok. Santai saja." Tifa mencoba untuk menenangkan Vina. "Aku kan termasuk yang membantumu untuk memecahkan masalahmu. Jadi kamu boleh kok mampir ke sini jika ada perlu."

Senyum kecil Vina tunjukan malu-malu. "Iya. Terima kasih atas bantuannya."

Mereka kembali membisu dan suasana mulai canggung. Tifa yang baru sadar dengan situasi itu cepat-cepat berkata, "A-aku buatkan minuman dulu, ya. Kamu mau teh? Atau kopi?"

"Ah, tidak perlu repot-repot. Aku ke sini tidak lama, kok." Vina mulai memberanikan diri untuk berbicara. "Sebenarnya aku ke sini ingin minta tolong kepadamu."

"Apa itu?" Tifa membalikan badan dan duduk meleseh di hadapan Vina.

"Ma-mau kah kamu menemaniku selama di rumah? Ibu dan ayahku tidak ada di rumah selama tiga hari. Aku biasanya meminta Jasmin menemani, tapi ... aku yakin dia masih marah denganku. Jadi, kumohon, hanya kamu yang bisa melakukannya."

Tifa berbikir sejenak. Memang yang hanya bisa menemani dirinya dari keempat anggota Pharma.con adalah dia. Eni punya keluarga yang harus diurus. Aris dan Cony, tidak ... mereka akan langsung dihapus dari pilihan karena mereka pria, ya kan?

Tifa menelan ludah. Ini sama saja dia harus menjadi pelindung untuk kliennya. Dia sebenarnya takut karena ada resiko besar yang membanyanginya. Tetapi Vina adalah klien yang sudah membayar mahal mereka dan orang yang memang harus mereka lindungi.

Tifa membulatkan tekadnya. "Baik. Kapan aku bisa datang ke rumahmu?"

--- --- --- --- --- --- ---

Ini dia kelanjutan yang selamaaaa ini kalian tunggu-tunggu. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Ada yang bisa tebak? wkwkwkw.

Btw, kan Pharma.con satu-satunya ceritaku yang belum ada visual cast-nya. Menurut kalian, siapa yang cocok dengan mereka ya?

Pharma.con: Silent Sinner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang