Jam makan siang tiba. Semua mahasiswa yang ada di penjuru fakultas akan segera menyerbu kantin maupun warung di sekitar kampus. Tetapi beda hal dengan Tifa, gadis itu pergi ke penjual asongan, membeli bakso bakar dua porsi, dan membawanya ke lantai empat. Di sana masih sepi, tidak ada orang. Waktu yang tepat untuk makan sambil belajar.
Tifa mencari tempat yang tidak terkena panasnya matahari. Setelah mendapatkan posisi nyaman, gadis berkuncir kuda itu sedikit membersihkan lantai dari pasir, lalu duduk di sudut lorong. Segera dia buka bakso bakar dari pembungkus, mengambil botol minuman satu setengah liter dari dalam tas, dan membuka buku catatannya. Sembari menguyah, dia membaca catatan itu dengan penuh nikmat.
Sebenarnya Tifa sudah belajar tadi malam selama mengerjakan tugas pendahuluan. Namun dia takut ketika ditanya, jawaban yang dia tahu malah tidak bisa dia ucapkan. Seperti lidahnya kelu, padahal jawaban sudah siap dia muntahkan. Sehingga dia memiliki teknik belajarnya sendiri; menulis, membaca, dan mengucapkannya kembali.
Setelah perutnya telah terisi, Tifa membuang sampah dan meneguk air putih untuk membersihkan sisa-sisa daging dan bumbu kacang dari mulutnya. Setelah merasa sudah menghafal secara keseluruhan, Tifa mulai membaca jawaban tiap soal yang ada.
"Exemplum! Apograph! Afschrift! (1)" Tifa membacanya seperti mengucapkan sebuah mantra sihir. Bagaikan jelmaan Harry Potter, pulpen hitam yang dia genggam, dianggap sebagai tongkat sihir.
Inilah alasan Tifa ingin menyendiri. Sebab dia akan melakukan hal memalukan untuk menghafal bahasa Latin yang kadang sulit menempel di kepalanya. Dia tidak ingin ada orang yang melihat cara belajarnya yang unik. Sayang, hari ini bukan hari keberuntungannya.
"Loh? Tifa? Kamu ngapain di sini?" Cony keluar dari dalam lab Fitokimia, pintu yang tepat berada di sebelah kiri dari posisi Tifa sekarang.
Sial! Kenapa ada Cony di sini! maki Tifa dalam batinnya.
Padahal Tifa sudah menyusuri lantai empat untuk menjamin bahwa tidak ada orang di sana. Dia juga membuka tiap pintu lab dan menengok ke dalam, yakin tidak menemukan siapapun di sana. Tak terkecuali lab Fitokimia. Tifa sudah yakin tidak ada orang di dalam, sebab di rak sepatu tidak ada sepatu yang tersimpan maupun selop khusus lab yang dipakai. Bagaimana Cony bisa ada di dalam?
Tifa yang sudah tertangkap basah, kehilangan kata-kata. Mungkin Cony yang sadar gadis itu canggung, dia pun mulai berbicara, "Kamu belajar, ya? Maaf aku ganggu." Cony menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"A-anu, Cony liat tadi?"
"Hm? Liat apa?" Sepertinya Cony tidak melihat aksi bodoh yang dilakukan Tifa. Pundak Tifa yang meneggang mulai turun. Syukurlah Cony tidak menyadarinya.
Cony berjalan mendekati juniornya, memandang buku catatan yang dibuat Tifa. Begitu banyak tulisan dengan tinta warna-warni yang menghiasi tiap halaman; stick note warna-warni, serta gambar maupun bagan yang terpampang jelas. Tifa memang orang yang rajin dan teliti. Itulah sebabnya dia menjadi mahasiswa yang sering dibanggakan oleh dosen-dosen, walaupun dia tidak sepintar teman-temannya yang lain.
"Hebat ... aku jarang nulis, mau itu pas kuliah atau di rumah. Belajar, ya ... baca aja."
"Wah, Cony pasti pintar. Aku sih enggak bisa gitu. Bakalan lupa sama apa yang dijelasin dosen." Tifa mengucapkannya dengan nada merendah.
"Tapi nilaimu bagus-bagus kok. Usahamu patut diacungi jempol."
"Cony terlalu menyanjung. Nilaiku cuman di atas rata-rata, tidak ada nilai yang sempurna."
Ucapan Tifa benar. Nilainya tidak terlalu mencolok. Memang tidak ada nilai merah, tetapi kalau dilihat keseluruhan, nilai Tifa tidak lari dari B. Hanya hitungan jari untuk mata kuliah yang mendapat A. Itu pun karena dosen yang mengajar suka dengan tugas Tifa yang dikumpul tepat waktu, padahal jawaban benarnya tidak terlalu banyak. Tifa kadang berpikir bahwa dosen-dosen maupun asisten lab, termasuk Cony, yang mengajar selama ini hanya kasihan dengan dirinya yang berusaha keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharma.con: Silent Sinner ✓
Mystery / Thriller[Pemenang Wattys 2019 Kategori Misteri & Thriller] (TAMAT) Terjadi pembunuhan berantai yang menimpa mahasiswa-mahasiswi di Kota Makassar. Benang merah dari seluruh kasus adalah korban saling mengenal, namun sampai sekarang, belum ada yang berhasil m...