Tifa, Aris, dan Cony tiba di Makassar dan tanpa membuang waktu segera mendatangi rumah Eni dengan tas bawaan yang cukup banyak. Mereka bertiga memutuskan untuk menginap di sana meski itu berarti akan tidur di atas karpet depan televisi di ruang keluarga. Itu saja sudah cukup untuk Tifa, dibandingkan tidur di dalam kemah beralaskan tanah dan bebatuan yang dingin di atas gunung yang penuh dengan hal-hal tidak terduga.
Beberapa jam setelah mereka memuaskan lapar dan dahaga dengan prasmanan ala kadar tapi enaknya seperti cinta dari seorang ibu kepada anaknya, Vina datang bertamu dengan air muka yang tidak begitu baik.
"Vina? Tumben kamu diam terus." Tifa yang duduk di sampingnya tampak khawatir.
"Aku merasa belum siap bertemu dengan Jasmin," jawab Vina sambil menundukan kepalanya, tidak berani menatap Eni yang duduk di hadapannya.
"Kamu masih belum berbicara dengannya?" tanya Tifa lagi.
"Belum." Vina menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Sulit kujelaskan, tapi teman yang dekat dengan kita dan habis bertengkar hebat ... bisa membuatmu stres tiap hari. Beda dengan teman yang tidak terlalu dekat. Selama kita benar, tidak peduli dengan perasaannya."
"Gitu, ya." Tifa mengangguk paham.
Kali ini Vina meluruskan postur duduknya dan menoleh ke arah gadis berkacamata itu. "Sebaiknya kamu cari cara agar tidak bertengkar dengan sahabatmu, Tifa. Aku jamin rasanya benar-benar tidak enak."
Sementara Tifa, Vina, dan Eni menunggu di ruang tamu, Aris dan Cony berdiri di dekat pagar, tampak wajah mereka was-was.
Aris mengerutkan dahinya. "Jasmin tidak ke kampus?"
"Iya, aku sudah bertanya ke Vina dan sudah kupastikan juga ke kosnya. Dia tidak ada di mana-mana." Cony menggaruk kepalanya sembari mengetik pesan cepat di ponsel. Dia mencoba menghubungi Jasmin beberapa kali, namun hasilnya nihil.
"Kalau begitu, kita mulai saja pertemuannya." Aris membalikan badan dan melangkah masuk ke dalam ruang tamu. Cony pun mengekor dari belakang.
Kedatangan kedua pemuda itu sontak membuat Tifa dan Vina berdiri dari sofa.
"Bagaimana?" tanya Tifa.
Cony menggeleng lemah, sedangkan Aris membisu dan duduk sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Jangan-jangan ... dia sudah diculik, bukan begitu?" tebak Vina dengan wajah muram.
"Sepertinya," balas Aris dengan nada tenang padahal ucapannya adalah skenario terburuk yang sangat ingin mereka hindari. Dia pun melanjutkan, "Kita tunda dulu untuk penjelasan penyelidikan di gunung. Menemukan Jasmin adalah tujuan utama kita sekarang."
--- --- ---
[Aku ada di kos Jasmin dan kata tetangga kamarnya, dia tadi sempat dating, tapi pergi lagi.] Suara Cony terdengar dari speaker ponsel Aris.
"Hah? Baru saja? Kapan?"
[Sekitar lima menit yang lalu.]
"Cony, aku boleh minta tolong untuk mencarinya di sekitar sana? Kalau dalam satu jam kamu tidak menemukannya, kembali ke sini. Kita akan bicarakan rencana berikutnya."
[Oke.] Cony mematikan panggilan terlebih dahulu.
"Kita juga harus mencarinya." Aris bangkit dari tempat duduk yang membuat semua orang pun mengikuti jejaknya.
"Tifa, kamu ikut denganku."
"Eh?" Tifa memekik cukup keras sampai Eni menyenggol pinggang gadis itu agar mengecilkan suaranya.
Dan Aris terlihat tidak memperdulikan reaksi Tifa tadi. "Kita cari Jasmin di sekitar kampus."
"Kenapa tidak sama Cony saja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharma.con: Silent Sinner ✓
Mystery / Thriller[Pemenang Wattys 2019 Kategori Misteri & Thriller] (TAMAT) Terjadi pembunuhan berantai yang menimpa mahasiswa-mahasiswi di Kota Makassar. Benang merah dari seluruh kasus adalah korban saling mengenal, namun sampai sekarang, belum ada yang berhasil m...