Bab 1: Grup Nyentrik

2.4K 277 164
                                    

Gadis itu berdiri tegak di jalan setapak yang mengarah ke sebuah gedung berlantai empat. Hamparan rumput hijau yang dipotong rapi berjejer di kanan kirinya. Pohon-pohon besar yang merambatkan dahan penuh dengan daun segar yang basah melindungi gadis berkuncir kuda itu dari terik matahari. Dia menarik napas dalam-dalam, menikmati pertukaran oksigen secara eksklusif dari proses fotosintesis. Rasa segar dari embun-embun yang terbawa angin membuat perasaannya semakin nyaman.

Tifa berjalan santai menuju fakultas. Sekarang tepat jam tujuh pagi, masih satu jam lagi kelas dimulai. Tidak ada salahnya untuk menikmati keindahan alam yang sudah jarang dia dapatkan di kota.

Tak terasa Tifa sudah menginjak semester empat, tinggal dua tahun lagi hingga dia meraih gelar sarjana. Dengan berat hati dia harus mengucapkan selamat tinggal pada masa liburan yang singkat, sesingkat menarik napas setelah berlari mengejar impian yang masih nun jauh di sana. Aktifitas akademisi akan segera menyambut hari-harinya. Gadis berumur dua puluh tahun itu tidak menyangka bahwa dia akan menikmati perkuliahan di jurusan yang dia pilih setengah hati. Mungkin lebih tepat disebut terbiasa.

Tifa terpaksa masuk ke Farmasi disebakan tidak lulus di jurusan impiannya; Kedokteran. Dia sudah berkali-kali ditolak diberbagai kampus unggulan dan jatuh bangun dalam tes mandiri yang benar-benar menguras sari otaknya hingga tetesan terakhir. Entah rezeki atau takdir, Tifa malah terdampar di Farmasi dan kampus swasta yang letaknya di antah beranta. Sampai-sampai google map belum mendeteksinya. Tifa harap pihak dari google segera memperbarui petanya sebab teman maupun keluarganya dari pusat kota selalu tersesat jika ingin pergi menjenguknya.

Papan besi besar bertuliskan Fakultas Farmasi terlihat jelas. Gedung berwarna kuning tampak makin cerah dengan sinar matahari dari arah timur. Orang-orang yang berlalu-lalang masih bisa dihitung jari. Walau Tifa masih rindu dengan kemalasannya selama liburan, namun rasa rindu untuk bertemu teman-teman sekelasnya tidak bisa dibendung lagi. Kalau dia bertemu dengan salah satu dari mereka, dia akan berlari dan memeluk erat mereka—kecuali teman laki-laki, pastinya.

Baru saja Tifa melangkahkan kaki di fakultas, dia segera membalikan badannya untuk keluar dari sana. Bagaimana tidak, hari yang cerah itu terganggu oleh sesosok pria berambut kelabu. Jangan tertipu dengan penampilannya. Walau ketampanannya bisa disamakan dengan Mingyu Seventeen sekalipun, namun dia adalah pria tanpa hati nurani.

Nama pria itu adalah Aris, asisten ter-killer se-Universitas Clarus Jaya. Tinggi, tampan, dan sering berpenampilan modis, namun tidak lari dari peraturan kampus. Pria yang berhasil membuat mahasiswi hingga ibu Wakil Dekan terpesona dengan kehadirannya. Sayangnya, siapa pun yang berani menyatakan cinta kepada pria dingin itu harus bersiap terkena aritmia (1) jantung mendadak.

Mungkin itulah alasan poliklinik yang baru dibangun dekat dengan Fakultas Farmasi. Entah sudah berapa korban yang berjatuhan akibat pesona dan kata menusuk dari Pangeran Alkemia itu. Masih menjadi misteri Ilahi.

Aris sedang berdiri tepat di depan tangga, menyuruh mahasiswa yang sempat dia temui untuk membawa jeriken berisi aquadest (2) ke lantai empat. Tidak peduli perempuan atau laki-laki, semuanya diperlakukan dengan setara. Niat Tifa yang ingin kabur, segera terdeteksi oleh Aris. Dengan kakinya yang jenjang, dia melesat, berlari mendahului Tifa, mencegatnya di depan pintu masuk lobi.

Sambil memasang wajah bak malaikat kematian, dia menyerahkan jeriken kosong ke gadis berkacamata itu, tanpa mengucapkan sepatah kata. Mereka berdua membisu, saling bertukar pandang lekat-lekat. Tifa bisa mengerti keinginan pria itu dengan melihat sekilas pada sepasang iris hitam yang melihatnya dengan tajam.

Lakukan!

Seakan tubuhnya disetrum dengan tegangan satu juta volt, spontan Tifa mengambil jeriken kosong dari genggaman Aris. Tifa seperti terkena hipnotis, dia segera bergegas ke tong besar di gudang untuk menimba aquadest, lalu berlari ke lantai empat. Beratnya jeriken dua puluh liter itu tidak seberapa dengan kengerian dari murkanya Aris.

Pharma.con: Silent Sinner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang