Bab 10: Korban Ketiga

663 114 17
                                    

"King Cobra!" pekik Tifa tidak percaya dengan apa yang dijelaskan oleh Aris.

Aris menutup lubang telinga kanannya sembari berkata, "Penyebab kematian Rica akibat bisa dari ular jenis King Cobra. Sebuah keganjilan yang terlalu jelas dibanding korban yang lainnya."

"Kenapa bisa begitu?"

"Coba perhatikan lokasi penemuannya." Aris meletakkan berkas yang ada di tangannya ke atas meja dan Tifa mencodongkan wajahnya untuk melihatnya secara jelas. "Dia meninggal di dalam kamarnya sendiri, terkunci dari dalam. Lalu, kamarnya yang berada di lantai dasar--berbeda dengan orang tua dan saudaranya, semakin memperjelas bahwa ada orang yang sengaja memasukkan ular itu ke kamarnya. Secara ... rumah Rica berada di kompleks perumahan elit yang tidak dikelilingi hutan maupun tanah lapang besar yang bisa menjadi sarang ular."

"Memangnya lewat mana ularnya masuk? Jendela?"

"Diduga melalui jendela. Tapi, pada saat ditemukan, jendela kamarnya pun terkunci. Ventilasi udaranya pun ditutup karena dia menggunakan pendingin ruangan."

"Maksudnya dia membukakan jendela untuk pelaku?"

"Tidak. Jendela kamarnya diberi trali besi yang akan sulit dilewati tubuh manusia, jadi pelaku sudah tahu akan hal itu."

Selepas dari kantor polisi, mereka berdua kembali ke kediaman Aris. Berkas tentang korban ketiga--Rica sedang mereka kupas untuk mendapat petunjuk baru tentang si Pelaku.

Cowok berambut kelabu itu sudah membuka pengait dari berkas biru itu dan menyusun setiap lembarnya ke atas meja. Dia melihat satu per satu lembaran putih itu dan memperkirakan benang merah yang akan mengarahkannya ke kasus sebelumnya yang sayangnya tidak;ah mudah untuk ditemukan.

Aris menggigit kuku jarinya dengan kesal. "Terlalu jelas kalau ini adalah pembunuhan, tapi ... kenapa pelaku bisa menghilangkan seluruh bukti yang ada. Rapi sekali caranya beraksi."

"Mungkin saja melalui langit-langit?"

"Sudah ada yang memperkirakan hal itu dan sudah dicek semua komponen rumah korban."

"Artinya, pelaku tahu bahwa Rica memang tinggal di kamar itu, ya kan? Mungkin saja orang yang mengenal dia yang melakukannya."

"Itu juga sudah diselidiki. Nihil. Semua punya alibi yang kuat."

Tifa menyenderkan punggungnya ke sofa. Dia sudah tidak tahu lagi harus berkomentar apa sebab Aris tampak tidak mood untuk menjelaskan secara mendetail. Sehingga dia membuka ponselnya dan mencoba mencari artikel tentang raja ular yang menjadi pelaku utama dari pembunuhan Rica.

"Mungkin saja ular itu tidak datang sebelum waktu kejadian, bisa saja ular itu sudah berada di sana lebih lama dari yang dikira," gumam Tifa pada dirinya sendiri.

Perkataan dari Tifa sontak membuat Aris berdiri dari tempat duduknya. "Tentu saja ... kalau begitu, kita bisa menentukan siapa saja yang pernah datang ke kamar Rica dan bisa mencari tahu apakah mereka pernah memiliki transaksi membeli ular eksotis atau tidak." Aris membuka-buka berkas itu cepat-cepat. Mencari nama-nama saksi yang ada di sana.

Namun, matanya memancarkan keheranan yang kuat dan Tifa penasaran akan hal itu. "Bagaimana? Siapa yang bisa kita curigai dalam pembunuhan Rica?"

"Vina ... dia pernah datang ke rumah Rica dua hari sebelum kejadian."

--- --- ---

Gadis berkuncir dua itu melihat foto barang bukti, tampak papan penunjuk berwarna putih di arahkan ke benda-benda yang diduga berkaitan dengan pembunuhan Rica. Aris mengurutkannya dari nilai terkecil, barang seperti grendel pintu dan jendela, tempat tidur, hingga barang pribadi Rica tidak luput dijadikan barang bukti. Tapi tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan dari mana asal ular itu bisa masuk dan menyerang Rica. Mustahil jika itu tidak sengaja.

"Apa sudah sampai ditanyakan ke ahlinya? Seperti pencinta reptil gitu atau dinas pertenakan?"

"Tentu saja sudah. Mereka juga mengemukakkan pendapat yang sama--ular itu pasti sengaja dimasukkan ke dalam kamar. Tapi sayangnya polisi belum mendapatkan bukti yang jelas untuk menegakkan pernyataan itu."

"Rica suka hewan, mungkin?"

"Dia benci reptil. Semua orang yang mengenal dirinya mengetahui itu, tapi tidak mungkin polisi harus menanyakan semua teman dari kecil hingga besar yang mengetahui hal itu."

"Jadi itu sudah menjadi rahasia umum, ya? Sulit juga mempersempit pencarian."

"Yang bisa diyakin adalah Rica sengaja dibunuh dan pelaku mengenal baik Rica. Sayangnya, gadis ini terkenal supel, punya banyak teman dan bersifat terbuka." Aris mendecahkan lidah. "Makanya ... aku tidak suka dengan orang yang terlalu jujur dan polos. Naif. Tidak tahu kalau dunia tidak semenyenagkan yang dia kira."

Tifa seketika dibungkam. Perkataan Aris seperti sebuah pukulan berat untuk siapa pun--termasuk gadis berkuncir satu itu. Dia memang tidak terlalu dekat dengan orang banyak, namun dia paling tidak bisa menolak permintaan orang lain. Kata tidak sudah berada di ujung lidah, namun yang lolos malah kata iya yang begitu tidak tulus. Jika Rica orang yang terlalu jujur, maka Tifa adalah seorang pembohong yang ulung. Hanya saja bukan orang lain yang dirugikan, malah dirinya yang kena.

Aris menjatuhkan punggungnya ke atas sofa. Dia tampak malas untuk menyelesaikan kasus yang ada. Entah itu adalah wajah bingungnya atau bukan, Aris menggigit-gigit ujung tangkai dari kacamatanya. "Sepertinya tidak akan semulus yang aku duga. Sial. Kalau begini aku bisa malu termakan dengan janjiku."

"Makanya, jangan terlalu sombong dengan kemampuanmu, Aris. Ini sama saja menggali kuburan sendiri."

Bukannya mendapatkan pembelaan, Aris merasa tersindir dengan pernyataan Tifa. "Engga usah sok bicara bijak. Tidak akan mengubah situasi yang ada. Malah kamu harus hati-hati menasehati orang lain."

Tifa menyeringtkan matanya. "Maksudmu aku tidak boleh sok bersikap dewasa? Gitu?"

"Ya. Aku tahu kamu fans banget sama Eni, tapi engga usah ikut-ikutan. Dia itu memang sudah mapan. Kalau kamu ... hah! Masih bau kencur, gitu mau bicara kayak gitu."

Tifa menggiggit bibirnya dalam-dalam. Dia memang sering dipandang rendah oleh Aris, namun ini keterlaluan. Dia paling benci dibanding-bandingkan. Bukannya membalas, Tifa jalan dengan gusar ke pintu depan.

"Mau ke mana kamu?"

"Pergi. Enggak usah banyak nanya."

Walau dia marah, Tifa mengharapkan cowok berambut kelabu itu menghentikannya. Sehingga dia sedikit memperlambat gerakannya ketika memasang sepatunya di kursi depan.

"Oh. Jangan lupa tutup pagarnya."

Jawaban macam apa itu? Tidak ada kata maaf? Tifa sekarang sangat murka. Gadis itu melempar tatapan setajam belati ke Aris. Dia tidak mau bertemu dengan Aris untuk sementara waktu. Tifa benci cowok tak beperasaan seperti Aris.

=== === === === ===

Lama engga update cerita ini dan aku udah stuck dari dulu untuk melanjutkannya. Pengen banget kurevisi total. Jujur aja, karya ini benar-benar engga ada outlinenya. Cuman bermodal premis dan sinopsis.

Padahal aku seorang Pantser atau gardener yang lebih suka menulis sesuak hati, tapi ternyata tanpa outline dll juga engga bisa nulis sampai kelar. Hikssss.

Aku juga udah pernah coba outline sampai hal-hal yang paling mendetail dan pada akhirnya, semua yang kutulis berbeda dengan rencana awal. Kampret, kan?

Aku berjanji akan memperbaiki karya yang satu ini biar lebih baik lagi. Masa udah berhasil raih penghargaan Wattys tapi mandat, kan engga banget, ya ;(

Doakan biar cerita ini bisa dilanjutkan lagi. Aku pengen rapikan dulu naskah ini dari nol lagi dan tidak akan mengecewakan buat yang udah nunggu lama cerita ini update.

Terima kasih atas dukungannya. Maafkan penulis ini yang suka selingkuh sama naskah lain. //ditampol sama Aris dkk.


Pharma.con: Silent Sinner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang