Bab 14: Rahasia

246 71 12
                                    

Aris mengetuk-ngetuk meja kerjanya, berpikir. Pria berambut kelabu itu masih belum paham apa alasan pelaku untuk membuat seluruh teman Vina dan Jasmin celaka. Mereka berlima dikenal sebagai grup yang sudah dikenal baik di fakultasnya. Bukanlah tipe grup senior yang suka main hakim dengan mahasiswa baru maupun satu tingkat di bawahnya. Malah mereka sering mengadakan bantuan sosial dengan pergi ke wilayah-wilayah terpencil, tempat terakhir yang mereka datangi dekat gunung Bawakaraeng.

Para dosen pun juga mengatakan bahwa mereka adalah mahasiswa yang sopan dan rajin. Tidak pernah ada keluhan yang berlebihan tentang kinerja mereka selama mengikuti perkuliahan. Selain itu, korban kedua adalah salah satu mahasiswa PKM basket yang sering membantu anak-anak SMA yang berprestasi dari sisi olah raga. Aneh sekali jika ada seseorang atau pihak yang membenci mereka.

Aris memutuskan untuk mencari tahu kembali ke bakti sosial yang sudah mereka jalani, itu artinya dia terpaksa untuk pergi keluar dari kota Makassar. Dia memutuskan untuk membuat jadwal setelah pengawalan mereka pada Vina berakhir.

Suara deritan pintu lab yang terbuka dan tertutup memberi kode kepada Aris bahwa ada orang yang masuk ke dalam wilayahnya. Pria berambut kelabu itu bangkit dan berjalan menuju pintu kantornya, mendapati seorang gadis berkepang satu baru saja ingin meraih gagang pintu menuju ruangan Aris.

"Jasmin? Ada yang bisa kubantu?" tanya Aris heran. Semenjak kejadian yang menimpa Jasmin dan Vina, gadis itu sudah jarang berkomunikasi dengan Aris dan lainnya. Untung saja Vina tetap mengabari keadaannya dari ibu kos Jasmin sehingga Aris memilih untuk tidak mengganggu gadis itu. Dia tahu Jasmin butuh waktu untuk memulihkan diri dan Aris menghormati atas pilihan gadis itu.

Jasmin tampak murung. Ada kantung mata yang tebal di atas pipi tirusnya. Bibirnya tampak pecah-pecah walau dia berusaha untuk mengulumnya agar tetap lembab. Dia seperti telah menghabiskan waktu tanpa memperdulikan penampilannya. Aris memkirkan kemungkinan bahwa gadis itu sedang stress berat.

"Anu ... saya minta maaf tidak menghubungi Kak Aris lagi padahal kasus kami masih berjalan."

"Hanya itu?"

Jasmin menyering dahinya. "Tentu saja tidak. Ada yang ingin saya bicarakan dengan Kak Aris. Mungkin bisa membantu Kakak untuk menyelesaikan masalah ini."

Aris melihat ke arah pintu lab dan kembali berbalik ke Jasmin. "Tidak bersama dengan Vina?"

Air muka Jasmin bertambah muram. "Anda pasti tahu alasannya, bukan?"

"Baiklah. Masuklah."

Jasmin melangkah masuk dengan kepala tertunduk, meraih kursi yang tersedia tanpa memandang mata Aris. Selama beberapa menit, gadis itu tidak berbicara. Dia tidak menunjukkan gerakan gugup atau sejenisnya, lebih tepatnya Jasmin terlihat sangat lelah.

"Aku ada urusan lain, jika kamu tidak menjelaskannya dengan cepat, kamu bisa datang sampai perasaanmu sudah kembali normal," sindir Aris tanpa menunjukkan ekspresi peduli.

Jasmin mengangkat wajahnya, menatap pria berambut kelabu itu dengan tatapan sedih. "Apa saya terlalu keterlaluan dengan Vina? Sampai sekarang, kalau mengingat kejadian itu, saya tidak bisa mengerjakan hal dengan benar. Belum lagi ketika kami ada di kelas. Aku bisa merasakan Vina mulai menjauh dari saya dan hal itu semakin membuat saya tidak kuat menjalankan hari di sekitarnya."

"Hentikan." Aris mengangkat tangan kanannya ke udara. "Aku ini detektif, bukan konseler, bukan psikolog, apalagi psikiater. Yang ingin saya dengar adalah kasus atau petunjuk yang bisa membantumu menyelesaikan masalah. Simpan keluh kesahmu nanti di rumah sakit. Aku tidak membutuhkannya."

Jawaban Aris yang dingin itu sempat membuat Jasmin kaget. Tidak menyangka bahwa Aris secara blak-blakan mengatakan kata menusuk itu kepada kliennya.

Jasmin menghela napas panjang. "Begitu, ya. Maaf kalau itu sama sekali tidak membantu Anda."

Pharma.con: Silent Sinner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang