Bab 8: Gelap Gulita

663 137 7
                                    

Di malam yang sama, rumah Vina.

Perumahan yang ditempati Vina seperti kota mati. Tidak ada suara yang terdengar di luar, sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Jangkrik tidak bersuara, cicak pun tidak berani memunculkan keberadaannya. Nuansa menuju tengah malam itu membuat Vina ketakutan, segera dia nyalakan televisi untuk memecahkan kesunyian. Dinaikan volume hingga bisingnya memenuhi seluruh rumah.

Tergesa-gesa, Vina menyentuh lambang gagang telepon di layar ponselnya. Dalam hitungan detik ada seorang yang menjawab. Mamanya adalah orang yang sedang dia tunggu kedatangannya.

"Mama, kapan pulang? Vina takut sendirian di rumah," ucap Vina tertekan.

[Sabar, Vin. Ini baru selesai bersih-bersih. Vina mau nitip—] Belum selesai dijawab, Vina memotong tidak sabaran.

"Aku tanya, kapan! Ma ...."

[Apa? Suaramu tidak kedengaran. Kenapa ribut sekali di rumah?] Tampaknya suara sorak-sorai dari acara sepak bola yang tayang di layar kaca membuat perkataan Vina tadi tidak terdengar jelas.

"Ma! Cepat pulang, tidak usah singgah ke mana-mana!" teriak Vina sembari mematikan teleponnya, mengetik kata-kata yang sama ke pesan singkat, lalu mengirim ke kontak mamanya.

Vina sudah kehilangan kesabarannya. Kedua orang tuanya tidak ada yang mengerti dengan keadaan anaknya sekarang. Ayahnya terlalu sibuk pergi dinas keluar kota. Ibunya pun sibuk dengan bisnis toko kain milik mendiang kakek. Sudah berkali-kali Vina menceritakan kegilaan yang sedang dia alami dan jawabannya pasti sama saja; 'Perasaanmu saja, Nak'.

Satu-satunya orang yang paham dengan dirinya malah membenci dan menjauhinya. Jasmin sudah tidak ingin bertemu dengan Vina. Kata-kata terakhir Jasmin masih terus mengiang di kepalanya.

"Mati membusuk sana sendirian. Aku tidak peduli." Kalimat itu terus menerus terputar di pusat memori jangka panjangnya. Seperti kaset rusak yang tidak tahu kapan harus berhenti atau berganti adegan.

Gadis yang sendirian itu hanya bisa menangis di atas sofa. Meratapi kematian yang semakin lama semakin dekat dengan dirinya. Dan takdir itu akan dimulai, malam ini.

Tiba-tiba listrik padam. Semuanya gelap gulita. Vina bisa merasakannya. Dia sudah ada di sini.

Vina diam di tempatnya, membeku di sana. Pikirannya benar-benar buntu. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada orang yang bisa menyelamatkannya sekarang. Selesailah riwayatnya.

Samar-samar terdengar suara langkah di teras belakang. Mata Vina yang sudah terbiasa dengan kegelapan mencoba menoleh ke arah dapur. Vina tercekat, ada bayangan pria besar di balik jendela dapur, berusaha membuka pintu dengan kasarnya.

Pria itu mencoba mengintip dari kaca jendela yang transparant. Entah bagaimana bisa Vina tahu, ya, dia tahu. Pria itu baru saja tersenyum ke arahnya. Senang bahwa mangsanya sedang duduk manis menunggu dirinya.

Bagaikan tersambar petir di lautan kegelapan, Vina segera berlari menuju pintu depan, lari pontang-panting ke luar rumah, dan meninggalkannya begitu saja.

Batu kerikil yang menggores telapak kaki Vina tidak dihiraukan. Lehernya tercekik oleh kengerian, bernapas pun sulit. Tubuh Vina hanya tahu berlari, menjauh dari sosok mengerikan yang bersembunyi dalam kegelapan yang mencekam. Tidak terasa Vina sudah berada di ujung kompleksnya yang gelap tak berujung di malam tanpa bulan dan bintang. Pancaran cahaya tampak mulai mendekat ke arah gadis malang itu. Suara mesin mobil terdengar bagaikan kicauan burung pipit di pagi hari.

Sejenak Vina tersenyum bahagia. Namun, kegembiraannya telah dirampas sesaat melihat mobil yang berhenti tepat di hadapannya—mobil putih tadi siang.

Vina berteriak sejadi-jadinya. Lalu kembali berlari ke arah sebaliknya, terus berlari, hingga sampai ke perkebunan pisang di belakang perumahannya.

Mulai merasa lelah, Vina memutuskan untuk berhenti di dekat pos kayu kecil yang tepat berada di tengah-tengah perkebunan tersebut. Pengelihatan Vina mulai kabur. Badannya sudah bermandikan keringat dingin. Tenggorokannya kering dan dilanda dahaga hebat.

Berkali-kali Vina menelan ludahnya dan berusaha melihat keadaan sekitar. Sepertinya ada pemadaman listrik serempak di daerahnya, tapi kenapa bisa pelaku tahu dan berani datang ke rumahnya? Apalagi orang tuanya juga tidak ada. Kebetulan? Tetapi kenapa bisa pas seperti ini? Sudah dilanda teror tertimpa kebingungan pula.

Aku tidak peduli, bagaimana bisa dia ada di waktu dan tempat yang tepat, yang penting aku harus cari tempat aman, kata Vina dalam batinnya sembari melemparkan pandangan ke penjuru tempat, terlihat ada palang-palang kawat yang memisahkan perkebunan dengan perumahan lain.

Di sana sepertinya tembus ke gang sebelah.

Memutukan untuk pergi ke sana, Vina mulai berjalan, dengan pelan dan terseok-seok karena kelelahan. Rasa perih di kakinya mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Dua pria tadi mungkin sudah kehilangan jejaknya atau lebih baik lagi tertangkap oleh tetangga yang sempat melihat dirinya berteriak kesetanan.

Berhasil melewati kawat berduri melalui sela-sela yang agak lapang, Vina kembali melihat sinar kecil dari kejauhan. Sadar dengan kesalahan pertamanya, Vina mencoba untuk bersembunyi di balik pohon besar. Sinar itu bergerak-gerak tak karuan, mencoba mendekat ke tempat Vina berada.

Suara daun yang diinjak-injak semakin membuat jantung Vina berdetak sangat keras. Pilihan hanya tersisa dua, lari atau lawan. Namun, bisakah Vina melawan pria tadi? Secara tubuhnya besar dan gempal. Jasmin saja tidak berdaya dibuatnya.

Semakin lama sinar yang berasal dari senter itu semakin mendekat. Waktu Vina semakin menipis. Tidak ada pilihan lain, dia akan mencoba memperlambat pelaku dengan mendorongnya dari samping kemudian kabur.

Tepat sesaat orang itu sejajar dengan Vina yang memasang kuda-kuda, gadis itu langsung mendorong sekuat tenaga. Sayangnya pria itu memiliki refleks yang cepat dan segera menghindar, membuat Vina jatuh tersungkur di tanah.

Cahaya senter itu mengarah ke wajah Vina, dan pria itu berteriak, "Vina! Kamu kah itu?"

Mendengar suara yang familiar di telinganya itu, sontak membuat Vina menoleh ke arah pria dengan senter itu. Ternyata dia Aris. Vina akhirnya selamat, untuk kedua kalinya.

"Kak Aris! To, tolong aku ...." Vina mulai menitikkan air mata di wajahnya yang sudah kotor dengan tanah.

"Kamu bisa berdiri? Biar kubantu." Aris meraih salah satu tangan Vina dan menariknya sekuat tenaga.

Vina tampak pucat, kondisinya benar-benar mengenaskan. Aris mencoba untuk menggendong gadis malang itu.

"Maaf, ini darurat. Jadi tolong maafkan diriku kalau memperlakukanmu seperti ini," ucap Aris yang mulai melangkah sembari membawa Vina di punggungnya.

"Kenapa harus minta maaf segala, aku malah harus berterima kasih."

"Habis ...." Aris terlihat sedikit malu-malu.

"Habis?"

"Komponen mamma-mu (1), kena punggungku," gumam Aris yang membuat Vina kebingungan.

--- --- --- --- --- --- ---

Mamma: bahasa latin dari payudara.

--- --- --- --- --- --- ---

Haduhai, Aris ... Aris ....

Kamu tuh terlalu serius jadinya bikin ngakak, wkwkwkwk.

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian, yeee. 😁

Pharma.con: Silent Sinner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang