Bab 21: Titik Terendah

197 62 4
                                    

"Misi kita kali ini adalah melindungi Vina," ucap Aris yang baru saja tiba di rumah Vina. Tifa, Cony, dan Eni juga berada di sana untuk menjalankan rencana dari pimpinan grup detektif kecil itu. Meski kecil, kasus kali ini bukanlah hal sepele.

"Bagaimana dengan Jasmin?" tanya Vina khawatir.

Aris menggeleng pelan. "Kita tidak bisa berbuat banyak untuk itu. Aku rasa, mereka mencoba menjebak kita dengan menjadikan Jasmin sebagai umpannya. Tapi aku juga tidak bisa mengatakan bahwa dugaanku benar."

"Maksudnya apa, Aris?" Kali ini Cony yang bertanya.

Pemuda berambut kelabu itu menghebuskan napas panjang, kemudian menjelaskan apa yang sedang dia pikirkan sekarang. "Tujuan utama mereka adalah mendapati semua anggota pendaki yang tidak membuka mulut tentang pria yang jatuh di gunung itu. Kita berada di pihak yang paling dirugikan. Satu-satunya harapan kita untuk menangkap para pelaku adalah dengan menjaga Vina dan menunggu sampai mereka menyerang kita secara terang-terangan."

Kenapa kesannya malah Vina yang dijadikan sebagai umpan? Begitu pendapat Tifa dengan pemaparan singkat dari Aris, namun dia tidak utarakan secara langsung karena dia takut malah menyakiti perasaan Vina. Gadis itu sudah terlalu banyak merasakan penderitaan.

"Mau sampai kalian akan menjagaku?" tanya Vina lagi. Terdengar suaranya bergetar seperti menahan air mata yang sudah di ujung tanduk.

"Sampai kami menangkap penjahatnya," jawab Aris dengan nada tenang.

Melihat Aris yang terus-terusan bersikap bisa mengendalikan situasi yang ada, akhirnya membuat Vina muak. "Lupakan! Ini semua sudah berakhir! Hanya sisa aku dan mereka menang! Kalian kira bisa memutar balikan keadaan? Coba lihat apa yang terjadi pada semua sahabatku! Cukup ... tinggalkan aku sendiri. Aku sudah lelah ...."

Tifa tidak tinggal diam. Gadis berkacamata botol itu bergeser dari tempat duduknya, mengurangi jaraknya dengan Vina. Dia merangkul kliennya yang putus asa dengan lembut. "Vina? Kenapa kamu jadi sepesimis ini?"

Napas pendek-pendek disertai isak tangis membuat Vina kesulitan berbicara, tapi Tifa berusaha menjadi pendengar yang baik. "Karena aku sudah muak dengan permainan teror-meneror ini! Kalau memang ini pembalasan atas dosaku, ya sudah, biarkan aku mati saja sekarang--"

Secepat kilat Aris menarik tangan Vina dengan kasar. Semua orang yang melihatnya terlonjak kaget. "Jangan permainan pekerjaan kami. Kamu kira, kami suka menjaga orang yang sudah membunuh orang dan tidak mau mengaku? Diam dan lakukan tugasmu dengan benar." Suara dingin yang tidak mengenal ampun itu sejenak membuat siapapun yang mendengarnya akan membeku di tempat.

Untuk pertama kalinya Tifa melihat tatapan gelap Aris yang menusuk. Ini lebih dari biasanya. Dia tidak bisa menghentikan sikap tak berperasaan itu, seolah-olah Aris benar-benar membenci kekalahan dan dia tidak mau kalah dari penjahat manapun.

Vina tidak bisa membantah lagi. Dia sebenarnya juga takut akan hal buruk yang akan terjadi padanya. Kematian yang semakin lama, semakin dekat dengan dirinya. Di dalam hati kecilnya yang terdalam, tentu saja dia tidak ingin mati, apalagi meninggal dengan tidak layak.

Aris berkedip sekali, menyeret dirinya kembali ke ujung ruangan dan menatap kliennya dari kejauhan. Cony sempat mendapati kilatan penyesalan di wajah Aris. Sementara itu, Vina yang sudah bisa mengendalikan diri terlihat kelelahan. Bahunya terkulai lemah, matanya melebar, lengannya menyilang di depan dada, seolah dia berusaha memeluk diri sendiri. Tifa menatapnya penuh simpati, pada gadis yang menyedihkan itu.

Keheningan yang cukup lama akhirnya terputus oleh perintah Aris. "Cony, bisa kamu pasang lagi kamera tambahan? Di setiap bagian rumah yang kemungkinan bisa dimasuki. Eni, tolong kamu temani Vina. Tifa, kita berangkat."

"Ke mana?" Tifa bangkit dan cepat-cepat melangkah untuk menyusul karena Aris sudah pergi keluar rumah dan meraih helmnya yang bergelantungan di kaca spion motornya.

"Ke rumah sakit. Ada barang yang harus kuantarkan ke sana."

--- --- ---

"Aku harap ada oleh-oleh. Bukannya tanah, tanaman, dan sebungkus kantong hitam yang mencurigakan," kata Nico dengan nada ketus. Dokter itu sempat menghembuskan kepulan asap putih dari sela mulutnya.

Tindakannya itu tentu saja membuat Aris terbatuk dan menutup hidung dengan dua jarinya. Akibatnya, pemuda itu berbicara dengan suara terjepit yang ganjil. "Kalau kamu memang tidak mau memeriksanya, biar aku minta tolong sama orang lain--"

Sontak Nico mengangkat salah satu tangannya ke udara. Memberikan kode berhenti pada Aris. "Jangan. Aku saja yang lakukan."

Ujung bibir Aris naik sebelah. "Nah, begitu dong."

"Aris ... jangan bersikap seperti itu, tidak sopan." Tifa menggeleng-gelengkan kepala, malu dengan sikap Aris yang seenaknya di depan orang yang lebih tua.

Nico mengibaskan tangan di udara, lalu memandang ke arah Tifa. "Biarkan saja, Tifa. Itu namamu, benar?" Tifa mengangguk kemudian dia melanjutkan, "Kata-katanya itu tidak akan bisa membunuhku dalam sekejap, kok."

"Hah?"

"Jangan pedulikan dia. Nico memang aneh," sambung Aris sembari membereskan barang-barangnya.

"Eh?"

Tifa tidak bisa berkata banyak. Satu ruangan dengan dua orang worka holic terasa seperti berada di tempat tanpa gravitasi. Rasanya Tifa ingin melayang ke luar angkasa saja meninggalkan dua maniak itu.

"Aku akan memberikan hasilnya dua hari lagi."

Aris mendecap lidah. "Terlalu lama, aku butuh besok."

Sebentar Nico terdiam, kemudian membalas, "Baiklah. Jangan lupa apa yang harus kamu lakukan, Aris."

"Ya. Aku tahu."

"Udah? Gitu aja? Tawar menawar macam apa ini?" Ucapan Tifa dibiarkan mengambang begitu saja tanpa dijawab oleh Aris maupun Nico. Mencurigakan.

--- --- --- --- ---

Sedikit info buat kalian, sisa tiga bab lagi menuju akhir!

Mohon ditunggu yaw, ini lagi proses pengetikan dan pengeditan.

Oh ya, apa sih yang kalian inginkan dari ceritaku yang masih jauh dari kata sempurna ini? Tulis di kolom komentar, yes?

--- --- --- --- ---

Author note:

WARNING!

If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, you will risk of a malware attack. If you wish to read this story safety, read this in THE ORIGINAL web! Please, support the author with some respect.

Thank you,

Hygea Galenica

--- --- ---

PERINGATAN!

Jika Anda membaca cerita ini di platform lain SELAIN WATTPAD, Anda akan berisiko terkena serangan malware. Jika Anda ingin membaca cerita ini dengan aman, bacalah di web ASLI! Tolong, dukung penulis dengan cara yang lebih terhormat.

Terima kasih,

Hygea Galenica

*** *** ***

Pharma.con: Silent Sinner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang