Mereka berempat duduk berhadapan di ruang tamu. Rasa canggung menusuk dan membuat Tifa merasa gerah, padahal pendingin ruangan sudah menyala dan menunjukkan angka delapan belas derajat di malam yang cerah ini.
"A-aku kan cuman minta Tifa yang menemani ... ke-kenapa Kak Aris juga ada di sini?" tanya Vina malu-malu.
Tifa pun juga ingin mengatakan hal yang sama. Sore tadi Tifa sudah menghubungi Aris bahwa dia akan mengidap di rumah Vina untuk tiga hari ke depan dan pria itu hanya membalas dengan kata 'iya'. Dan apa yang dia dapati? Aris dan Cony datang menjemputnya di kos dan mereka bersama-sama pergi ke kediaman Vina.
"Kalian tahu kan ini rumah anak gadis yang belum menikah? Apa kalian engga tahu bahaya kalau ada dua cowok menginap di sini selama tiga hari apalagi orang tua Vina tidak ada?" timpal Tifa dengan nada kesal.
Jujur saja, Tifa sempat kegirangan ketika Aris tidak mempermasalahkan dirinya untuk menemani Vina. Itu artinya dia memiliki peran penting dalam kasus itu. Sesuatu yang sangat jarang untuk dirinya diandalakan oleh orang lain. Namun, ternyata kebahagiaan itu segera sirna ketika Tifa sadar bahwa Aris masih tidak mempercayai kemampuannya. Rasanya ingin menggigit kuku jari kakinya saja.
"Untuk apa memikirkan pandangan orang lain sedangkan mereka saja tidak mau ikut campur dengan masalah orang lain? Makanya kamu sering kalah saing, Tifa. Kamu terlalu memikirkan pandangan orang lain."
Sekarang Tifa ingin mencekik leher Aris. Ingin sekali.
Cony tersenyum canggung, mencoba memecahkan suasana yang menekan. "Ada yang lapar? Mau beli sesuatu di luar?"
"Bo-boleh," balas Vina cepat-cepat, "aku sudah lama tidak makan burger. Bagaimana kalau pesan di McD saja?" Vina memandang satu per satu ke teman serumahnya untuk tiga hari ke depan.
"Aku mau!" Suasana hati Tifa yang tadi berantakan perlahan kembali seperti semula. Itu semua berkat godaan makanan yang bisa menghipnotis gadis itu untuk melupakan kejadian satu detik sebelumnya.
Aris tidak berkomentar, pemuda itu beranjak dari ruang tamu dan menghilang ke dalam kamar kecil. Pandangan Cony beralih ke Tifa dan Vina. Kedua gadis itu sudah tidak mempermasalahkan kedatangan mereka. Memang tidaklah sopan dua pria yang tidak punya hubungan dekat dengan seorang gadis menginap seenaknya di rumah Vina. Sebelum datang ke sana pun Cony sudah mempertanyakan pilihan Aris, malah dia rela pulang tengah malam setelah yakin kedua gadis itu aman di rumah.
Sayangnya, Aris tidak suka gerak-geriknya terbaca oleh pelaku. Dia tidak tahu siapa saja yang mengawasi, mau itu tetangga maupun orang lain. Mereka harus tetap waspada karena keselamatan Vina sudah benar-benar dalam bahaya.
Cony tiba-tiba teringat dengan Jasmin dan menanyakan kabar sahabat Vina satu itu. "Vina, apa Jasmin baik-baik saja? Kamu sudah menghubunginya lagi?"
Vina menghentikan perdebatannya dengan Tifa tentang minuman soda yang ingin mereka minum. Gadis itu memilin bibirnya kuat-kuat. Kedua bola matanya melihat ke arah lain seolah dia tidak ingin menunjukan perasaannya yang sebenarnya. "Aku ... aku sudah beberapa kali meneloponnya untuk meminta maaf, tapi dia selalu mematikan panggilanku. Pesan yang kukirim pun cuman dibaca. Untungnya aku mengenal ibu kos Jasmin, jadi kadang aku menanyakan kabarnya dari sana."
"Lalu, dia masih ada di sana, kan?"
Vina menganngguk kecil. "Ya. Malah dia tidak keluar sama sekali dari kamarnya. Ibu kosnya pun jadi cemas."
Tatapan simpati dari Cony membuat Tifa menyadari bahwa pemuda itu sangatlah berbeda dengan Aris. Mereka berdua bisa diumpakan dengan matahari dan bulan. Cony yang periang, mudah bergaul, pemberani, dan berusaha memahami perasaan orang lain adalah kunci dari pesona laki-laki berkacamata itu. Sedangkan Aris yang dingin, pendiam, jenius, dan egois malah tetap bisa menarik perhatian banyak orang. Entah kenapa zaman sekarang kaum perempuan lebih menyukai tipikal cowok dingin, bad boy gitu. Padahal Aris itu orang yang tetap akan memperlakukan wanita dengan cara kasar jika dia merasa keadilannya diganggu.
Kata 'Lady's first' adalah kata terkutuk yang bakal membangkitkan iblis dari tubuh Aris. Cowok itu tidak segan-segan meninggal perempuan sendirian di tengah jalan. Atau membiarkan mereka membawa barang yang berat. Dia sama sekali tidak ada rasa simpati dengan genre. Tifa sempat mencari tahu apakah Aris penganut kesetaraan gender, namun yang dia dapat malah omelan ceramah panjang dari cowok itu. Alasannya Tifa terlalu mengurusi urusan orang lain sedangkan dirinya sendiri belum baik--sempurna.
Tifa jengkel jika mengingat kembali kejadian itu.
Cony adalah pemuda yang sekilas seperti seorang preman yang tobat untuk kembali menjadi masyarakat yang berguna bagi Nusa dan Negara. Dia juga tidak kalah pintar dengan Aris, terlebih dia adalah seorang pengajar bela diri di sebuah tempat kebugaran. Terlepas dari penampilan, Cony adalah cowok yang manis. Dia bisa bersifat romantis di beberapa kesempatan. Dia juga memahami kebutuhan seorang perempuan karena dia sudah dibesarkan lumayan lama dengan ibunya. Kalau dipikir secara logika, Tifa pasti akan lebih memilih Cony dibandingkan Aris.
Namun, mengapa hati dan tubuhnya berkata lain? Apa Aris sudah merancuninya dengan sebuah senyawa yang bisa berguna sebagai sebuah guna-guna? Masih sebuah misteri yang belum bisa Tifa pecahkan dan penyelidikannya itu akan terus berlangsung hingga dia bisa mengetahui lebih dalam cowok berambut kelabu itu.
Baru saja Tifa memikirkan pria kelabu itu, Aris muncul dari lorong rumah. Dia membawa sebuah tas ransel yang tadi dia letakkan di ruang tengah. "Kita harus buat persiapan selama tiga hari."
Tifa, Cony, dan Vina melihat penuh selidik. Aris mengeluarkan barang dari dalam tas; kamera kecil, benang nilon, paku dan pengait, serbuk putih yang biasa Tifa lihat di film-film detektif, dan perangkat penyelidikan lainnya. Aris seperti bukan berencana melindungi Vina, lebih tepatnya dia ingin menjebak para pelaku.
"Apa kamu yakin mereka bisa ditangkap dengan barang semua ini?" tanya Cony sembari memilih-milah barang-barang yang sudah bertebaran di atas meja.
"Tidak ada salahnya untuk mencoba. Pelaku yang ingin menculik Vina dan Jasmin adalah tipe penculik professional. Mereka tampaknya sudah tahu gerak-gerik korban dan dapat menganalisis apakah korban sendirian maupaun tujuan yang ingin dia datangi. Itu termasuk pencapaian yang tertinggi jika mereka bisa tahu jadwal korban. Mereka bukan penjahat kacang-kacang."
"Baiklah. Lalu?" tanya Cony dengan menaikan sebelah alisnya.
"Lalu apa?"
"Kami bertiga harus melakukan apa?"
"Paling utama adalah ... jangan biarkan aktivitas kalian mudah ditebak oleh orang lain. Walau itu para tetangga sekali pun. Cony, bantu aku pasang jebakan di sekitar rumah. Memang terlihat sederhana barang-barang yang akan kita gunakan, tapi malah sesuatu yang paling sederhana yang kadang luput dari pikiran orang banyak."
--- --- --- --- ---
Untuk sementara, mungkin aku akan mengurangi durasi update jadi dua kali seminggu atau bisa lebih dari itu. Intinya, aku usahakan untuk publish di tengah-tengah kesibukanku untuk seminar hasil dan masa-masa persiapan sidang penelitianku.
Doakan agar bisa lancar jadi aku bisa cepat balik menulis dengan keadaan yang lebih baik. :)
Terima kasih buat yang cek naskah ini dari awal sampai sini. Dan maaf masih banyak kesalahan di cerita sehingga kalian kurang nyaman dalam membacanya. Insyallah kalau sudah kutamatkan akan kucoba untuk revisi dan tambal beberapa plot yang terkesan terburu-buru.
Sekali lagi, terima kasih dan ditunggu ya bab selanjutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharma.con: Silent Sinner ✓
Mystery / Thriller[Pemenang Wattys 2019 Kategori Misteri & Thriller] (TAMAT) Terjadi pembunuhan berantai yang menimpa mahasiswa-mahasiswi di Kota Makassar. Benang merah dari seluruh kasus adalah korban saling mengenal, namun sampai sekarang, belum ada yang berhasil m...