Bab 22: Merica

194 60 7
                                    

Cony dan Eni bersiaga di dalam rumah Vina. Tifa dan Aris sepertinya akan pulang terlambat sehingga mereka harus berjaga sampai larut malam sembari menunggu kepulangan keduanya.

"Mereka lama, ya," ucap Eni setelah mengirim pesan singkat kepada suami tercintanya.

Senyuman kecut muncul di wajah Cony. "Aku yakin, Aris meminta agar hasil labnya keluar cepat, atau malah malam ini juga."

Eni tertawa mendengar pernyataan dari orang yang paling memahami Aris. "Benar juga, sudah dapat dipastika dia akan melakukan apa saja sampai permintaanya dikabulkan."

Mereka berdua sedang berada di ruang tengah, mengawasi kamera pengawas sembari menghabiskan waktu dengan minum teh dan makan cemilan. Untung saja hari ini orang tua Vina masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Tapi Eni malah merasa sedih karena dia seperti berkaca, melihat dirinya yang sering meninggalkan buah hatinya di rumah, tanpa tahu bahaya apa yang mungkin sedang mengintai mereka.

"Rada miris, ya. Dari farmasis berubah menjadi satpam. Mau bilang turun pangkat juga kurang baik karena jasa satpam pun penting dalam dunia kerja," kata Cony yang memecahkan lamunan Eni.

"Anggap saja beralih profesi. Semua pekerjaan itu punya sisi kerennya sendiri, kok. Sekalipun seorang satpam."

Cony menyesap minumannya dan mengangguk setuju. "Benar. Tidak ada pekerjaan yang buruk, yang ada cuman pekerjaan yang halal dan haram."

Tiba-tiba Eni teringat sebuah pembahasan di luar kasus. Dia akhirnya bertanya karena penasaran. "Kamu tidak mau cepat menikah, Cony? Kamu itu sudah dalam masanya, loh! Jangan di tunda-tunda terus."

Cony terbatuk-batuk. Dia baru saja menelan debu dan membuat tenggorokannya gatal. "Kenapa pembahasan dari pekerjaan berubah menjadi nikah? Aku belum mau memikirkannya, Eni. Aku masih ingin bersama ibuku. Dia masih memerlukan diriku."

Eni memalingkan wajah dan berseringai. "Dasar Mother Complex."

"Hei ...."

Eni tertawa dan kembali menatap Cony. "Aku malah sempat berpikir untuk berhenti bekerja kalau sudah menikah. Yah ... sayangnya tidak jadi."

"Loh, kenapa tidak jadi?"

"Sebenarnya ... aku ingin menghabiskan waktu bersama keluargaku lebih lama. Aku juga ingin mengundurkan diri dari Pharma.con. Hanya saja ... aku masih bingung harus mengatakan apa kepada Aris."

"Eni ...."

"Duh, jangan melihatku dengan tatapan kasihan begitu. Aku jadi ikutan sedih, kan."

"Memang benar, Eni punya banyak kesempatan untuk membangun keluarga yang bahagia dan sempurna. Tapi tanpamu ... Aris jadi tidak punya sosok yang bisa menahannya selama menjalankan kasus. Dia itu seperti singa yang siap menerkam apapun yang mengganggu dirinya."

Senyuman lembut merekah di bibir Eni. "Sudah ada kok yang bisa menggantikanku."

"Maksudmu, Tifa?"

"Siapa lagi kalau bukan dia."

Cony berpikir sejenak dan merasa belum bisa menerima pernyataan dari Eni. "Tifa sendiri tidak akan cukup mengendalikan emosi Aris."

"Makanya, aku mau latih dia supaya Aris bisa bertekuk lutut kepadanya," kata Eni terkekeh-kekeh. Sayangnya Cony tidak paham apa yang dimaksud oleh Eni.

Tiba-tiba ada gerakan yang tertangkap di dalam kamera pengawas. Cony segera mendekatkan wajahnya ke depan layar.

"Ternyata mereka benar datang. Apa mereka tidak sadar kalau kita juga melakukan persiapan?"

"Kamu pergi ke luar Cony, aku akan mengarahkanmu dari sini. Ah ... jangan lupa beri tahu Vina untuk datang ke sini."

"Siap." Cony membunyikan jari-jarinya. Bersiap untuk memukul si penculik sampai kapok. "Tidak ada rencana B?"

Pharma.con: Silent Sinner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang