Tifa sudah memasang perlengkapan dua kali lipat, tapi rasa dinginya masih ada. Mengenakan ikat kepala dan kupluk milik Cony, dua lapis baju lengan panjang dengan satu sweater dan jaket parasut, celana tiga lapis, kaos kaki dan sarung tangan tidak lupa dia kenakan. Tubuh gadis berkacamata itu sudah memiliki ukuran lebih besar dari biasanya, seolah Tifa mengalami perbaikan gizi dengan mencangkokkan diri dengan kain dan menjelma menjadi kue lapis berjalan.
Alhasil, gerakan Tifa lebih lambat dari biasanya, seperti raksasa yang melangkah perlahan dan mengguncang seluruh permukaan bumi.
"Tifa, kamu benar-benar tidak apa-apa?" tanya Cony memastikan, cowok itu mengawasi punggung gadis itu dengan cemas.
"Kalau aku bilang tidak apa-apa, sama aja bohong," gumam Tifa yang tampaknya berhasil didengar oleh Cony. Pemuda itu pun hanya tersenyum kecil.
"Kita sudah sampai, Dek." Bapak yang memandu mereka menunjuk sebuah percabangan jalan yang jika tidak dilihat secara teliti, pasti akan dikira jalan buntu menuju jurang dalam. Di sana ada jalan setapak sempit yang mengarah ke bawah. Cukup curam, namun bisa dilewati satu orang dalam satu waktu.
"Siapa saja yang tahu tempat ini, Pak?" tanya Aris kepada Bapak pemandu.
"Tidak banyak. Jalan ini biasa digunakan untuk mencari jamur atau tanaman yang tumbuh di sekitar tebing. Bukan tempat yang sering dilewati orang-orang di sini. Belum lagi kalau musim hujan, tempat ini akan licin dan berbahaya."
Mereka berempat berjalan pelan dalam posisi berbaris. Aris yang berada di barisan kedua terkadang berhenti tiba-tiba dan tanpa aba-aba untuk melihat tanaman yang tumbuh di sana, membuat Tifa sering mengeluarkan sumpah serapah pada pemuda berambut kelabu itu. Tanpa memedulikan kejengkelan Tifa, Aris menikmati dirinya sendiri dengan hasil penemuannya, kadang dia memungut dan menimpannya di dalam kantong kresek hitam yang dia siapkan sedari awal.
Mereka tiba di sebuah percabangan; satu masih menelusuri ke tebing dan satunya lagi mengarah ke bawah.
"Kalian mau ke mana sebenarnya?" tanya Bapak pemandu pada akhirnya. Dia sejak awal tidak banyak menanyakan tujuan ketiga anak muda itu, selain dia dimintai tolong oleh para penyelidik muda itu.
Aris akhirnya membeberkan tujuannya. "Kami ingin mencari tahu keberadaan anak Nyonya Indah."
Pria paruh baya itu menggaruk belakang kepalanya. "Maksudmu Febi? Kalian pikir dia kabur sampai ke sini?"
"Mungkin saja," jawab Aris datar.
"Kenapa Adek yakin sekali akan hal itu?"
"Kami mendapat informasi ada pemuda misterius yang ditemui beberapa pendaki satu tahun yang lalu. Dari ciri-cirinya, bisa jadi itu Febi. Makanya kami ingin memastikannya."
"Begitu, ya. Apa menurut kalian dia baik-baik saja?"
Aris mengelus dagu dan balik bertanya, "Kenapa Anda bertanya seperti itu?"
"Gimana, ya ... anak itu sudah tidak punya semangat hidup lagi. Dia hanya berdiam diri di rumah tanpa membantu ibunya. Dia sepertinya masih trauma dengan hancurnya hubungan antara ayah dan ibunya, apalagi dia baru mengetahui kalau ayahnya sudah lama selingkuh dan punya anak dengan perempuan lain."
"Astaga ...." Tifa yang mendengar cerita itu saja tidak bias membayangkan bagaiamana perasaan seorang anak yang mendapati hal semengerikan itu.
"Apa bedanya kalau kita lurus dan ke bawah?" Kali ini Cony yang bertanya.
"Kalau lurus, kita akan sampai ke jalan setapak menuju pos baru. Sedangkan kalau ke bawah kita hanya akan menemukan jalan buntu, di sana hanya ada gua kecil yang sering di tumbuhi tanaman. Tidak banyak orang datang ke sana karena tempatnya berbahaya, kemungkinan sarang babi hutan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharma.con: Silent Sinner ✓
Mystery / Thriller[Pemenang Wattys 2019 Kategori Misteri & Thriller] (TAMAT) Terjadi pembunuhan berantai yang menimpa mahasiswa-mahasiswi di Kota Makassar. Benang merah dari seluruh kasus adalah korban saling mengenal, namun sampai sekarang, belum ada yang berhasil m...