Aris dan Cony masih berbincang-bincang di ruang tengah. Mereka memutuskan untuk tidur di sana, selain berada tepat di depan kamar Vina, posisi itu juga strategis sebab semua tempat pasti akan melewati tempat itu.
Tifa selesai menggosok gigi dalam kamar kecil yang berada di dalam kamar Vina. Gadis berkacamata itu sudah melepaskan ikat rambut dan mengurai rambut panjangnya. Dia bisa menebak bahwa Vina bukanlah keluarga menengah ke atas, malah lebih dari itu. Perabotan dan fasilitas di rumah Vina sangatlah maju. Sempat Tifa bingung dengan tombol-tombol di atas kloset. Begitu pula ketika dia pergi mencuci piring di wastafel. Semuanya serba tombol, bukan tuas, atau timba--Tifa merasa bodoh sekali di dalam rumah itu.
Dia sempat cekcok dengan Aris saat mereka ingin membuka jendela belakang yang menghadap langsung dengan kolam renang yang ada di pekarangan belakang. Untung saja Cony bisa menengahi mereka dan Vina sigap mengajari keduannya tentang peralatan di rumah itu. Kerennya lagi, seluruh lampu di sana akan mati atau menyala dengan hanya menepuk tangan. Sampai Tifa sempat bermain-main lampu tengah dan menepuk berkali-kali. Tentu saja, dia mendapatkan cemohan sadis dari Aris.
Tifa menutup pintu kamar kecil dan berbelok ke kanan, menuju double bed yang berada di tengah-tengah ruangan. Vina yang tinggal sendirian di kamar pun diperlakukan layaknya tuan putri. Semua pakaian, aksesoris, dan barang-barang yang ada di dalam kamarnya adalah sesuatu yang sangat berat untuk Tifa miliki. Jika Vina suka dengan kualitas, maka Tifa lebih suka dengan ekonomis.
Vina sedang memperbaiki tempat tidur yang nantinya akan dia bagi bersama dengan Tifa. Gadis itu tidak sungkan untuk membagi wilayah pribadinya bersama orang yang baru dia kenal. Vina pun bukanlah gadis manja yang mudah mengeluh. Kemungkinan besar akibat pekerjaan kedua orang tuanya dia bisa lebih mandiri. Dia juga tidak peduli dengan pengeluaran yang lumayan banyak akibat mereka lebih sering membeli makanan cepat saji atau sejenisnya. Tanpa banyak berkomentar, dia pasti yang akan mendatangi si kurir makanan dan membayar dengan uang pribadinya. Gadis yang murah hati.
Aris juga mengatakan bahwa Vina-lah yang membayar uang muka penyelidikan mereka. Jasmin yang sudah diketahui sebelas dua belas dengan Tifa hanya menutupi separuhuang yang ada. Pantas saja Vina bisa dekat dengan banyak orang, dia adalah pergambaran anak kuliahan yang wajib ditemani.
"Maaf kalau kita harus berbagi tempat tidur. Kamar tamunya cuman satu, kamar orang tuaku pun tidak boleh dimasuki sama siapa pun."
Tifa menggeleng cepat. "Engga apa-apa. Aku malah merasa seperti tamu penting di sini. Padahal kamu datang ke sini kan untuk melindungimu."
Vina tersenyum kecil. "Aku yang harusnya berterima kasih. Semenjak kejadian penculikan itu ... aku mulai sulit untuk bisa tidur di rumah sendiri. Selain itu, aku lebih suka suasana yang ramai seperti ini. Jarang sekali rumah ini bersuara."
"Orang tuamu memang jarang di rumah?"
"Ya. Mereka lebih mementingkan pekerjaan daripada anaknya."
Mata Tifa membelalak. "Wow, kamu terang-terangan mengucapkannya."
"Itu sudah bukan rahasia untuk kalian, bukan?" Vina menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Dia memilih komponen paling ujung, dekat dinding. "Mereka kira dengan uang bisa menyenangkan putrinya. Mau diberi tahu apapun mereka pasti akan mengelak. Jadi ... santai saja, aku sudah terbiasa seperti ini." Vina kembali tersenyum ke arah Tifa. Namun, Tifa bisa merasakan pancaran kesedihan dari sepasang iris kehitaman itu.
"Begitu ya ... maaf aku bertanya hal yang tidak perlu."
"Ah, engga apa-apa kok. Aku tidak terganggu akan hal itu. Sudah biasa." Vina mengayunkan tangan kanannya di depan wajah, memberi penegasan bahwa dia tidak ambil hati dengan pembahasan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharma.con: Silent Sinner ✓
Mystery / Thriller[Pemenang Wattys 2019 Kategori Misteri & Thriller] (TAMAT) Terjadi pembunuhan berantai yang menimpa mahasiswa-mahasiswi di Kota Makassar. Benang merah dari seluruh kasus adalah korban saling mengenal, namun sampai sekarang, belum ada yang berhasil m...