BAB 5: Korban Pertama

724 156 27
                                    

"Ini sih, udah kecelakaan," ujar Tifa tanpa basa basi setelah membaca berita tentang seorang pria, atau lebih tepatnya korban pertama dalam kasus pembunuhan berantai yang dialami teman-teman Vina dan Jasmin. Diketahui korban keracunan hingga merenggut nyawanya.

"Pantas orang-orang banyak kemakan hoax. Hal seperti ini aja langsung ditelan bulat-bulat," kata Aris sembari mengaduk kopi Americano (1) yang tersuguh di hadapannya.

"Hah? Maksudmu, Aris?"

"Coba baca lebih seksama."

Tifa kembali membaca berita itu tanpa melewatkan satu huruf pun. Suara bising dari orang-orang yang berlalu-lalang di dekat meja mereka, sama sekali tidak mengganggu keseriusan Tifa dengan layar ponselnya. Masih mengepulkan uap tipis di atas kopi, Aris sedikit menyesap cairan hitam itu pelan-pelan, dan tidak mengalihkan perhatiannya pada gadis berkacamata di depannya. Sesekali, Tifa mengangkat segelas lemon tea ke depan bibir tipisnya.

Setelah beberapa menit berlalu, Tifa telah menyelasikan tugas bacanya, untuk kedua kalinya. Dengan kesimpulan yang masih sama, pria itu mati karena kurang beruntung atau memang sudah takdirnya. Melihat tatapan Tifa yang masih kukuh, membuat Aris memijat-mijat jidatnya yang lebar.

"Masa enggak paham? Terlalu 'hebat' bila dia mati karena keracunan di tempat makan, di mana ada lebih dari puluhan orang, berganti-gantian menyantap menu makan yang sama. Dan hanya dia saja yang keracunan."

Bagai kabel-kabel kusut yang baru tersambung, Tifa memperlihatkan bentuk mulutnya yang berbentuk huruf O, mengartikan kepahamannya. Lagi, Aris hanya bisa memijat jidatnya.

"Jadi ... ada seseorang yang ingin membunuhnya?" tanya Tifa penasaran.

"Teralu cepat kita menyebutnya seseorang. Kemungkinan ada lebih dari satu orang yang ikut campur juga masih besar. Sebab, kenapa tidak ditemukan barang bukti sedikit pun? Sepertinya, kita tidak boleh menganggap remeh lawan kita satu ini."

"Kenapa? Apa mereka pesulap? Sehingga semua barang bukti bisa dihilangkan begitu saja?"

Aris menatap masam Tifa setelah mendengar pendapat ngelanturnya. "Kamu kira ini Now You See Me?"

"Yah ... kan mungkin aja." Tifa memutarkan bola matanya sembari menaikan kedua bahunya. "Jadi, gimana caranya?"

"Kuncinya adalah tempat umum."

Tifa tampak tidak paham dengan perkataan Aris. Membuat Aris mendengus kesal. "Alasannya, di sana banyak pengecoh. DNA, sidik jari, air liur, rambut, etctera (2). Pelaku bisa dengan mudahnya melaksanakan aksi tanpa harus memikirkan cara untuk menghilangkan barang bukti."

"Bisa gitu, ya? Bukannya seorang pembunuh malah sangat menghindari tempat yang banyak orangnya? Kan bisa aja ketahuan atau ada saksi mata."

"Dia tidak perlu takut, kalau—" Aris spontan berdiri dari kurisnya, menghasilkan bunyi decitan keras, membuat Tifa tersontak kaget. "Kalau dia menyesuaikan diri dengan lingkungannya." Aris mengembangkan seringainya dengan menakutkan. Membuat Tifa bergidik ngeri.

"Aris ...."

"Apa?"

"Kamu menakutkan."

"Berisik."

--- --- ---

"Maaf, Nico. Sepertinya kami merepotkanmu lagi."

Nico segera menghisap putung rokoknya hingga bara merah terlihat. "Ambil, dan tolong jangan ganggu aku lagi."

Cony tersenyum canggung. "Baiklah. Tapi, sepertinya, kami bakalan datang lagi."

Nico mendecap kesal, tampaknya dia benar-benar terganggu dengan 'permintaan khusus' dari Aris. "Kalau saja dia tidak memegang kartu hitamku, pasti aku bisa mengucapkan selamat tinggal dengan Si Pak Tua itu."

Pharma.con: Silent Sinner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang