BAB 9: Pertemuan

752 152 8
                                    

"Aris, mesum." Tifa memalingkan wajah sembari memanyun bibirnya.

Tadi malam adalah malam yang sangat panjang. Setelah Aris membawa Vina ke rumahnya untuk diobati, mereka mendapat kabar bahwa mobil yang dinaiki ibunya mogok di tengah jalan sehingga Vina harus menunggu lebih lama. Sempat Vina ingin kembali ke rumahnya yang dia terlantarkan, tetapi Aris melarang dan lebih menyarankan untuk menghubungi tetangga dan meminta untuk mengecek apakah pelaku masih berada di sana atau tidak. Sekitar jam satu malam, ibu Vina datang menjemput di kediaman Aris.

Paginya Aris meminta semua anggotanya untuk datang ke rumah dan mendiskusikan perihal kejadian tersebut. Namun, yang didapat Aris malah ketidaksukaan Tifa dengan laporannya semalam. Aris adalah tipe orang yang menjelaskan semua hal secara rinci, dan masalah 'memompong' itu malah menjadi hal yang paling di soroti oleh ketiga kawannya.

"Mau bagaimana lagi. Masa kuseret dia."

"Bukannya bisa memapah, ya?" komentar Cony di sela tawanya.

Sontak Aris melongok ke arah Cony. "Benar juga. Aku udah enggak bisa mikir lagi, spontan aja kugendong."

"Wah wah wah, langsung digendong," ujar Eni yang disambung dengan tawa geli.

"Tapi kan aku udah minta izin. Vina juga tidak keberatan," bela Aris tanpa rasa bersalah.

"Sama saja! Sekali mesum, tetap mesum," bentak Tifa, membuat Aris mengerutkan alisnya.

"Kok kamu malah yang marah?" tanya Aris yang hanya dibalas dengan tatapan tajam dari gadis berkacamata itu.

"Aris, Aris." Cony menggelengkan kepalanya, tersenyum mengejek. "Tifa itu lagi cemburu."

"Ti, tidak kok! Ngapain aku cemburu sama Si Muka Datar," bela Tifa dengan nada agak canggung.

Sejenak Aris memegang dagunya, berusaha menarik kesimpulan dari respon Tifa. "Kamu ... mau kugendong?"

Tifa terpenjat dengan pertanyaan Aris. Gadis berkuncir satu itu memandang iris hitam pria berambut kelabu itu lekat-lekat. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar dari cowok paling dingin yang pernah dia temui.

Tiba-tiba Aris tersenyum miring dan mulai tertawa bersama Cony. Ternyata Aris sedang bermain-main dengan hati polos Tifa.

Tifa pun naik pitam. "Dasar, Baka (1)ris!" jerit Tifa yang telah meresmikan nama panggilan baru untuk Aris dan pergi meninggalkan kedua pemuda yang masih tertawa terbahak-bahak dengan lelucon konyol tersebut.

"Ckckck, bisa-bisanya kalian permainkan kepolosan Tifa. Awas nanti kalian dapat balasannya," ujar Eni yang berlalu dan pergi menuju dapur.

Sudah bisa menguasai diri dari rasa menggelitik di perut, Cony mulai bertanya ke Aris perihal kejadian setelah mereka bertiga pulang dan Aris tidak sengaja bertemu dengan Vina di belakang pekarangan rumahnya. "Kenapa bisa kamu tau ada orang di sana? Padahal tadi malam gelap sekali. Tidak ada bulan dan bintang."

Aris melangkah menuju singel sofa dan duduk bersandar dengan santai. "Aku itu paranoid. Setiap malam sebelum tidur, aku memang biasa mengecek halaman belakang yang langsung bersebrangan dengan perkebunan pisang. Jaga-jaga kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan."

"Meskipun bukan saat mati lampu?"

"Ya, itu sudah menjadi ritual wajibku tiap malam."

"Apakah ini ada kaitannya dengan para penganggum rahasiamu?"

Aris tersenyum miring dan mengangguk pelan. "Salah satu alasannya."

Cony sejenak merenggangkan tangannya ke langit-langit, menghasilkan bunyi gemeretak tulang dari lengannya. "Siapa pun pasti punya musuh. Apalagi detektif seperti dirimu."

Pharma.con: Silent Sinner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang