Aris, Cony, Tifa seketika bungkam mendengar penjelasan wanita tua itu perihal putranya yang entah masih hidup atau mati sekarang.
"Apa ... Ibu, maaf, bisa membuktikan fakta tersebut?"
Wanita tua itu mengangguk pelan. "Ya, Adek bisa lihat dari berkas-berkas ini. Semuanya asli. Mungkin kalian akan berpikir, betapa bodohnya saya melakukan hal seperti itu. Saya pun sampai sekarang masih menyesalinya."
Cony beranjak dari tempat duduknya dan memutuskan untuk duduk di sisi wanita tua itu. Sedari tadi Cony bisa merasakan aura nostalgia di rumah itu. Dia seperti sedang melihat sosok ibunya pada wanita malang itu.
"Tidak, Bu. Saya paham bahwa semua ini demi kepentingan anak-anak Anda. Ada kalanya kita harus memilih salah satu dari pilihan yang sulit. Tapi saya yakin ini yang terbaik untuk mereka."
Wanita tua itu meremas sarung yang dia kenakan kemudian terisak karena tidak kuasa untuk menahan beban dan perasaan yang terus dia dapatkan setiap harinya. "Tidak, Nak. Kalau ini memang adalah jalan terbaik kami, seharusnya putraku sekarang masih ada di sini."
Cony kehilangan kata-kata dan mengelus punggung wanita itu dengan telapak tangannya yang hangat. Sementara itu Tifa melirik ke arah Aris yang mengerutkan dahi dalam-dalam sambil melepaskan kacamata yang kadang dia gunakan untuk membaca. Gadis itu ingin bertanya tapi dia harus menahannya karena dia yakin, Aris sedang menggunakan sari-sari otaknya dengan keras dan dia butuh waktu untuk mengolah semua informasi yang sudah dia dapatkan.
--- --- ---
"Astaganaga ... air mandinya hampir bikin aku mati kedinginan," keluh Tifa yang sudah mengenakan baju ganti, namun selimut tidurnya masih dia kenakan sampai sekarang. Sempat beberapa kali gadis itu bersin besar, hingga mengeluarkan cairan bening dari lubang hidungnya.
"Kamu punya alergi dingin?" tanya Aris melihat gejala yang dialami Tifa.
"Iya ...." Suara Tifa menjadi serak dan parau.
"Menyusahkan saja. Bilang dari awal kalau kamu tidak kuat dengan udara pengunungan. Pergerakan kita jadi sulit kalau kamu saja sulit untuk bernapas."
Tifa bersin sekali dan mencoba membela diri. "Kamu sendiri yang suruh aku ikut dengan kalian! Sejak awal aku memang tidak mau ikut, tauk!" Dan gadis berkacamata itu kembali bersin.
Aris masuk ke dalam kamarnya, tanpa berbicara banyak. Semenit kemudian, pria itu membawa satu strip obat tablet generik kepada Tifa. "Minum ini. Obat alergi, tapi siap-siap kamu bakal mengantuk hebat selama di perjalanan. Kalau kamu memang tidak kuat, tunggu saja di sini."
Tifa meraih obat itu dan mengembungkan wajahnya, hidungnya yang merah malah membuat wajahnya seperti boneka buntal berkacamata. "Sudah terlanjur sakit, lebih baik maju sekalian aja."
"Pemikiran macam apa itu? Mau tambah sakit?"
"Enggak. Kalau pun aku tidak pergi, hidung ini juga tidak akan lepas juga. Sudahlah! Aku tidak mau mundur lagi, daripada pulang dengan tangan kosong, apalagi sudah jauh-jauh sampai sini."
Aris menghela napas dan membalas, "Terserah ... tapi awas kamu membuat gara-gara. Orang yang menyusahkan langsung turun dari gunung saat itu juga."
"Iya ... paham. Aku juga tidak mau jadi beban untukmu," balas Tifa yang berlalu ke arah dapur untuk meminum obatnya.
Ketiga muda-mudi itu bersiap dengan perbekalan seadaanya. Mereka akan mendaki gunung, namun tidak sampai ke puncak, mereka hanya ingin sampai ke pos dua puluh satu, yang diperkirakan tepat berada di bawah pos tiga lima; tempat kejadian di mana Vina tidak sengaja mendorong seorang pemuda misterius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharma.con: Silent Sinner ✓
Mystery / Thriller[Pemenang Wattys 2019 Kategori Misteri & Thriller] (TAMAT) Terjadi pembunuhan berantai yang menimpa mahasiswa-mahasiswi di Kota Makassar. Benang merah dari seluruh kasus adalah korban saling mengenal, namun sampai sekarang, belum ada yang berhasil m...