Bab 16: Benang Merah

253 74 7
                                    

Tifa dan Cony pergi ke sebuah booth penjual minuman boba. Mereka beralasan mencari udara segar sambil membeli minuman dingin untuk mereka berempat. Padahal mereka berdua tidak ingin terus berlama-lama di dalam rumah yang seketika menjadi mencekam dan kaku.

Vina mengakui tidak sengaja mendorong seorang pemuda ke dalam jurang dan keempat temannya, termasuk Jasmin, bekerja sama dengannya untuk menutupi kejahatan itu. Atau bisa dibilang kecelakaan yang berujung kejahatan.

"Tidak ada satu pun orang yang tahu ada orang hilang di sana? Pendaki yang terpisah dengan kelompoknya?" tanya Aris lima belas menit sebelum Tifa dan Cony keluar.

"Tidak ada. Kami memutuskan untuk turun dengan alasan Rika yang tidak kuat, kami tidak berbohong akan hal itu, tapi alasan itu juga yang bisa menutupi semuanya."

"Apa kamu yakin dia manusia?" tanya Tifa menambahkan yang malah dibalas dengan tatapan tajam dari Aris. Gadis itu pun mencoba berdalih, "Bisa saja itu hanya perasaannya saja, kan? Atau hantu gitu. Kan banyak kejadian mistis yang sering terjadi sama para pendaki."

Vina menggeleng lemah. "Bukan. Aku sangat yakin itu karena aku masih bisa mengingat ... merasakan kehangatan di tanganku saat menyentuhnya. Apalagi kami sempat berpengangan tangan."

"Apa ciri-ciri yang kamu ingat dari pria misterius ini?" tanya Aris tanpa mengubah ekspresinya yang dingin.

"Sepertinya aku pernah menggambarnya. Ya ... itu kulakukan agar bayang-bayang wajahnya tidak terus menerus kuingat. Tapi malah makin menjadi ... hahaha ... bodohnya diriku. Bodoh."

Sampai sekarang Tifa tidak pernah menyangka ada seseorang yang pernah membunuh dan bias kembali hidup seperti sedia kala. Seolah itu hanya sebuah mimpi buruk. Dia tahu bahwa itu bukan salah Vina sepenuhnya, hanya saja apa yang dia lakukan bersama teman-temannya adalah sebuah kesalahan, dosa yang amatlah besar.

"Tifa? Kamu mau rasa apa? Tifa?" Cony memanggil Tifa beberapa kali karena masih melamun menatap menu yang ada di tangannya.

"Ah! M-maaf. Mmm ... aku mau yang biasa saja."

"Tidak mau ada tambahan toping?" tanya pelayan yang ada di dalam booth, sebuah kode etik yang harus dia lakukan ketika melayani konsumennya.

"Tidak," balas Tifa tersenyum kecil.

"Baiklah ... saya ulangi pesanannya; dua boba tea original, satu kopi panas, dan satu boba tea cokelat."

Tifa mengambil bangku yang tersedia di samping booth penjual. Dia menghela napas panjang. Pikiran dan perasaannya masih berputar-putar. Dia masih tidak menyangka dengan apa yang sudah dia dengar. Ternyata ada beberapa fakta yang menyedihkan dan mengerikan, yang malah lebih baik tidak diketahui untuk kepentingan dirinya sendiri.

Cony menyikut lengan Tifa dan bertanya dengan nada prihatin, "Hei, kenapa? Masih memikirkannya?"

"Iya ... aku sampai hilang kata-kata dengan apa yang baru saja aku ketahui. Aku ragu kita bisa menyelesaikan masalah ini dengan damai."

"Yah ... itulah namanya takdir. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Tapi tenang saja, dari sini kita sudah dapat satu alasan pelaku mengincar mereka berlima."

"Balas dendam?"

"Sudah pasti, kan? Apalagi semua ini berkaitan dengan kematian si pemuda misterius itu."

"Tapi dia kan mencoba membantu Vina. Itu semua kecelakaan."

"Ya, memang. Tapi itu kalau mereka sudah jujur duluan saat mereka turun dari sana, bukan? Buktinya mereka bungkam. Itulah kesalahan yang mengundang maut kepada mereka."

"Benar juga ...." Tifa menghela napas panjang sampai bahunya pun turun saking lelahnya.

"Ya sudahlah. Kita tidak bisa melakukan banyak hal. Artinya sudah jelas akan ke mana kita berikutnya."

"Iya, ke gunung Bawakaraeng."

--- --- ---

Eni meletakan ponselnya di bahu kiri, berusaha menahan benda kecil itu tertempel di telinganya, sedangkan dirinya sedang sibuk meracik obat batuk dan demam milik pasien. "Aku tidak apa-apa sih untuk menjaga Vina di rumah. Toh suamiku selalu ada di sana karena pekerjaan dan ada dua bocilku yang bisa menemaninya jika dia kesepian."

[Maaf, Eni. Kami harus segera mengecek tempat itu sebelum pelaku bertindak lagi.] Suara Aris terdengar sayup-sayup di speaker ponsel Eni.

"Tidak apa-apa. Aku malah senang ada yang bisa mengajak dua anakku bermain. Lalu, bagaimana dengan Jasmin?" tanya Eni sembari mengambil tatakan kapsul dan mulai menyusun kapsul-kapsul berwarna biru putih di tiap lubang.

[Dia bilang akan tetap berada di kos. Selain itu, tempatnya memang sulit untuk dimasuki orang asing. Terlalu banyak saksi dan di sana juga ada satpam dan kamera pengaman. Di sana aman, tidak perlu dikhawatirkan.]

Eni berhenti sejenak, menaikan sebelah alisnya, lalu lanjut berkata, "Baiklah ... kamu sudah memperkirakan siapa pelakunya?"

[Kenapa kamu berkata seperti itu, Eni?]

Eni tersenyum miring. "Hei, aku mengenal baik dirimu, Aris. Pasti sudah ada satu atau dua nama yang ada dalam listmu karena semangatmu dalam memecahkan misteri ini sudah kembali."

[Benar ... kamu malah lebih hebat lagi bisa tahu aku sudah punya benang merah yang mengarah ke pelaku.]

"Dan pastinya kamu belum mau berbagi denganku, atau Tifa dan Cony, ya kan?"

[Aku tidak mau menuduh orang tanpa bukti kuat. Kalau aku sudah mendapatkannya, maka semuanya sudah jelas. Walau aku sudah memperkirakannya sebelumnya.]

"Apa ini berkaitan dengan gunung itu?"

[Ya ... dan ini berkaitan dengan kasus yang dulu kita ambil.]

--- --- --- --- ---

Makin ke sini, makin banyak pertanyaan muncul. Kalau kalian di posisi orang yang kenal dengan pemuda yang menghilang, apa yang akan kalian lakukan?

Terima kasih sudah terussss bersabar sampai bab ini update. Sorry agak telat karena kesehatan cukup drop beberapa hari ini. Semoga hari kalian menyenangkan setelah membaca ini. (atau malah makin pusing?  Wkwkwkwk)

Sampai jumpa minggu depan!

Author note:

WARNING!

If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, you will risk of a malware attack. If you wish to read this story safety, read this in THE ORIGINAL web! Please, support the author with some respect.

Thank you,

Hygea Galenica

--- --- ---

PERINGATAN!

Jika Anda membaca cerita ini di platform lain SELAIN WATTPAD, Anda akan berisiko terkena serangan malware. Jika Anda ingin membaca cerita ini dengan aman, bacalah di web ASLI! Tolong, dukung penulis dengan cara yang lebih terhormat.

Terima kasih,

Hygea Galenica

*** *** ***


Pharma.con: Silent Sinner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang