Bab 7: Korban Kedua

669 155 3
                                    

Aris dan Tifa mendapat kabar penyerangan Vina dan Jasmin dari Eni melalui telepon. Mereka berdua segera pergi ke rumah Eni, tempat di mana mereka janjian untuk bertemu. Sesampai di sana, keempatnya melakukan rapat dadakan. Dan seperti biasa, rapat di rumah Eni, berarti makan malam gratis untuk Tifa, Aris, dan Cony.

"Seperti itu kejadiannya," kata Cony mengakhiri cerita singkatnya tentang apa yang terjadi siang tadi. Kejadian saat Vina dan Jasmin diserang orang tidak dikenal.

"Serem." Tifa terlihat ketakutan setelah mendengar cerita itu.

"Aku sudah berbicara dengan Jasmin dan katanya itu yang paling parah. Padahal si pembunuh tidak pernah sekali pun memperlihatkan aksinya. Sekarang sudah terang-terangan." Eni berkata sembari menuangkan sop saudara (1) yang sempat dia beli setelah mengantar Jasmin pulang. Eni membagi rata ke empat mangkok putih.

"Bagaimana kabarnya Jasmin dan Vina?" tanya Aris kepada Cony dan Eni.

Mereka berdua saling menatap satu sama lain. Alis mereka turun, tampak kecewa. "Kamu dengar sendiri kan dari cerita Cony. Mereka bertengkar hebat. Tidak mau saling bertemu satu sama lain," jawab Eni sembari menghela napas panjang.

Tifa yang mendengarkan penjelasan Eni, angkat bicara, "Mungkin kah ini salah satu rencana pelaku? Membuat mereka bertengkar dan memisahkan mereka berdua?"

Tatapan Aris melebar, dia tatap Tifa dengan sorot mata penuh kagum. "Ternyata perkataanmu ada benarnya juga, ya."

"Eh? Jadi betul? Aku cuman nebak kok."

"Bisa jadi, pelaku melakukan hal terang-terangan seperti itu untuk membuat mereka terpisah. Kalau Cony dan Eni tidak datang, mereka pastinya berhasil menculik Jasmin. Tapi kalau pun gagal, hasilnya bisa membuat mereka saling bermusuhan."

"Tapi kemungkinan mereka malah bersama terus setelah kejadian juga besar, bukan?" tanya Tifa memastikan.

"Bisa iya, bisa tidak. Ini seperti permainan peluang. Berjudi. Taruhan. Namun, hasilnya bisa memberi efek sesuai skenario yang ada. Benar-benar, lawan kita yang sekarang betul-betul pintar." Aris tersenyum miris.

"Awalnya dia bermain ala assassin untuk mengincar korban. Sekarang, dia mencoba cara terang-terangan yang bisa memberi teror piskis untuk korbannya. Seperti membunuh secara perlahan-lahan," lanjut Aris dengan tatapan serius.

"Kejam," pekik Tifa tidak nyaman.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan, Aris? Melindungi korban?" tanya Cony yang ternyata sudah menghabiskan satu mangkuk sop saudara selama mendengar diskusi antara Aris dengan Tifa.

"Tidak, pekerjaan kita bukan melindungi korban atau menjadi tameng mereka. Ingat, kita detektif. Kita harus mencegah pelaku melakukan aksi berikutnya." Aris mengeluarkan sebuah map merah bening besar dari bawah meja. Terlihat begitu banyak lembar kertas di dalamnya. "Ini kiriman dari Danus. Dengan ini, kita bisa menyelidiki korban pertama hingga kedua."

Tifa, Cony, dan Eni terpenjat, melihat berkas-berkas kepolisian bisa Aris dapatkan dengan mudah. "Astaga, Aris. Kamu ancam apalagi ke Pak Danus?" kata Eni dengan nada tinggi.

"Hmmm ... istrinya mungkin," balas Aris santai.

"Kenapa kamu bisa tahu semua rahasia gelap orang lain, Aris?" Cony pun tampak jengkel terhadap perilaku sahabatnya itu.

"Riset dan memata-matai. Itu keahlian yang wajib dimiliki seorang detektif."

"Tapi kamu malah menyalah gunakannya," timpal Cony sembari menatap Aris lekat-lekat.

"Ya, aku punya 'buku hitam'. Semua informanku tidak bisa berkata macam-macam kalau aku sudah menyebutkan isinya." Aris berseringai licik. Seperti malaikat penjaga neraka yang menyimpan buku berisi dosa-dosa manusia.

Pharma.con: Silent Sinner ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang